kabinetrakyat.com – Tren main lato-lato sangat viral dan jadi sensasi di Jerman di era 1970-an. Permainan yang kemudian dikenal dengan nama Klick-Klack-Kugeln ini dipatenkan di Jerman.

“‘Tek-tek-tek” suara berdetak bandul lato-lato sudah familiar di telinga banyak orang. Sejak dimainkan Presiden Joko Widodo (Jokowi), lato-lato kembali jadi tren. Siapa nyana mainan ini juga pernah viral dan jadi sensasi di beberapa negara seperti Jerman dan Swiss di era 1970-an!

Di kantor DW di Bonn, Jerman, DW berkeliling sambil membawa lato-lato berwarna kuning dan hijau. Hari itu DW ingin tahu apakah para kolega yang berasal dari Jerman masih tahu mainan macam apa itu dan bagaimana memainkannya.

Ternyata, sudah tidak banyak yang tahu benda apa itu. Seorang kolega perempuan bernama Laura sama sekali tidak tahu apa yang harus ia perbuat dengan mainan ini. Sementara kolega laki-laki yang bernama Eike awalnya bingung, tapi dengan cepat ia bisa memainkannya.

“Eh saya tidak dapat feeling-nya, bagaimana mainnya?” ujar Eike kebingungan tapi segera disusul dengan: “Waaah bisa ya ternyata! Aduh, ini sepertinya bahaya deh!” kata Eike sambil tertawa saat lato-lato yang ia mainkan berayun semakin kencang.

Memang, lato-lato sebenarnya bukan permainan baru. Mainan berupa dua bandul atau bola yang diikat dengan tali panjang dan diadu ini sudah dikenal sejak tahun 1960 hingga 1970-an. Di Jerman dan Swiss, mainan ini dikenal dengan nama Klick-Klack-Kugeln (bola yang berbunyi klik klak jika beradu).

Selain itu, Lato-lato juga dikenal dan ada di berbagai belahan dunia. Di Amerika misalnya, permainan ini dikenal sebagai clackers, di Belanda dikenal sebagai Klik-klak-rage.

Pengusaha Jerman punya hak paten lato-lato?

Perusahaan penyiaran asal Swiss yakni SRF pada tahun 2020 pernah mempublikasikan video dokumenter pendek berjudul Klick-Klack-Spiel (1971). Dalam video tersebut, mainan lato-lato disebut sebagai Das Trendspielzeug der 1970-er Jahre yang artinya kurang lebih: Mainan trendi tahun 1970-an.

Dalam video itu, terlihat orang dari segala usia, mulai anak kecil hingga kakek-kakek, menikmati bermain Klick-Klack-Kugeln. Dalam keterangan video tersebut SRF menuliskan bahwa mainan itu sangat bising dan tidak begitu masuk akal, tapi membuat banyak orang tergila-gila.

Tidak banyak yang tahu dari mana asal mula permainan ini. Mengutip berbagai sumber, ada yang menyebut permainan tersebut ditemukan juga di suku Indian Uruguay di Rio de la Plata.

Di Amerika Selatan juga ditemukan benda yang sama sejak tahun 1603 yang digunakan untuk menangkap hewan buruan.

Benda serupa juga ditemukan di Jepang dan digunakan sebagai senjata, orang mengenalnya sebagai suruchin. Di Argentina, benda ini mirip dengan senjata berburu mereka, yakni boleadora.

Terlepas dari asal-usulnya yang tidak diketahui, ternyata ada hak paten atas lato-lato! Ya, hak ini dimiliki oleh orang Jerman. Mengutip berbagai sumber, Hansjoachim Prahl seorang warga Hamburg-Eimsbuttel mengamati anak-anak di Afrika yang tengah bermain dua biji alpukat yang dihubungkan dengan tali.

Terinspirasi dari apa yang ia lihat, Prahl lalu berinisiatif membuat mainan dan mengganti inti dua bola plastik agar lebih kuat dan menambahkan cincin ke tali yang mengikat bola tersebut.

Permainan yang kemudian disebut Klick-Klack-Kugeln ini lalu dipatenkan di Jerman. Per Agustus 1971, mainan ini terjual sebanyak 1 juta buah dan 10 juta lainnya diekspor ke seluruh dunia.

Dilarang karena bahaya dan alasan politik

Permainan ini bertujuan mempertahankan kestabilan ritme gerakan bandul. Ini akan menyebabkan suara “tek-tek-tek” yang keras.

Sekilas tak terlihat ada hal yang aneh dengan permainan ini, hanya mengayun bandul atau bola polimer. Namun ada beragam atraksi atau trik gaya yang bisa dilakukan agar permainan jauh lebih menantang dan terlihat keren.

Tak jarang aksi-aksi ini menyebabkan berbagai kecelakaan dan melukai orang. Bola keras dan berat yang saling diadu dan dibuat dari akrilik atau polimer bisa pecah saat diadu. Bahkan di Amerika, permainan ini digolongkan berbahaya dan dilarang untuk dimainkan.

Generasi bola lato-lato yang dibuat tahun 1990-an terbuat dari plastik modern yang disebut-sebut tidak mudah pecah. Warnanya pun dibuat lebih cerah sehingga lebih menarik perhatian. Tahun 2000-an mainan hidup kembali di Mesir dan disukai anak sekolah.

Hanya saja tak lama setelah populer, pemerintah melarangnya. Mengutip laman itus berita New Arab yang berbasis di London, Inggris, pada tahun 2017 pemerintah Mesir melarang penjualan mainan ini, bukan karena bahaya, tapi namanya dinilai menyinggung pemerintah.

Permainan bandul “bergoyang” ini di Mesir disebut Sisi’s Ball atau Bola Sisi yang dianggap mengacu pada alat vital Presiden Mesir Abdel Fattah El-Sisi. Polisi kemudian menangkap 41 penjual mainan itu dan menyita 1.403 mainan itu.

Noknok yang jadi lato-lato

Di Indonesia mainan ini juga sebenarnya sudah ada sejak tahun 1970-an. Ada yang mengenalnya dengan nama noknok, tergantung wilayahnya.

Berbagai sumber menyebutkan bahwa penamaan lato-lato diambil dari bahasa Bugis yang berarti klakson. Ada juga yang menyebutnya sebagai katto-katto yang juga punya arti sama.

Sekitar akhir tahun 2022, mainan ini kembali trending usai Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Presiden Jokowi bermain lato-lato. Setelahnya bak jamur di musim hujan, lato-lato mulai dimainkan anak-anak.

Kenapa mainan ini bisa begitu populer? Dosen Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Airlangga, Ikhsan Rosyid Mujahidul Anwari, menyebut kepopuleran kembali lato-lato disebabkan karena sifat manusia sebagai homo ludens atau mahluk yang suka bermain.

Karena itu, manusia punya permainan tren di setiap era. Namun ini juga tergantung pada perkembangan ekonomi dan zaman.

“Siapa yang menyebabkan permainan ini populer? Salah satunya produsen media permainan anak dan saya kira hal ini akan berulang pada waktu mendatang,” kata Ikhsan dalam pernyatannya.

Media sosial dan teknologi terkini juga disebut jadi salah satu faktor yang menyebabkan lato-lato jadi viral dan disukai anak-anak di Indonesia.

Lato-lato dan kesehatan mental

Seringnya anak bermain lato-lato dengan berbagai aksi dan trik tak ayal memicu terjadinya kecelakaan. Seorang anak di Kubu Raya, Kalimantan Barat, harus menjalani operasi mata karena terkena serpihan lato-lato yang pecah. Sementara seorang anak asal Sukabumi, Jawa Barat, juga terluka karena lato-lato.

Terlepas dari kasus tersebut, Ikhsan menyebut bahwa lato-lato sebenarnya juga punya nilai positif. Sama seperti permainan anak lainnya, lato-lato juga mengandung nilai kesenangan, interaktif, dan kompetitif. Hanya saja harus dimainkan dengan hati-hati.

“Lato-lato ini viral setelah pandemi. Anak-anak bisa berinteraksi sehingga permainan tersebut menjadi media interaksi bagi mereka. Di samping itu, nilai kompetitif dalam permainan tersebut juga berkaitan dengan kemampuan atau skill mereka sehingga muncul perlombaan dan sebagainya,” ujar Ikhsan.

Tak dimungkiri, saat memainkan lato-lato, beberapa trik dan gaya memang sering dipamerkan. Kemampuan untuk berpikir dan kemauan anak untuk belajar ini bakal membantu perkembangan anak secara mental.

Psikiater anak dokter Suzy Yusnadewi SpKJ (K) mengungkapkan bahwa lato-lato pada dasarnya bisa menjadi sebuah permainan yang menjauhkan anak-anak dari gadget.

“Lato-lato ini permainan lama, bisa populer karena asyik saja. Bermain itu membantu meningkatkan kecerdasan dan emosi anak,” kata dokter Suzy kepada DW Indonesia. Ia mengatakan, lato-lato bisa membantu anak meningkatkan keterampilan dan sensor motorik.

“Permainan apa saja sebenarnya bisa meningkatkan kesehatan mental anak, kecuali permainan di gadget. Permainan gadget itu monoton hanya lihat layar saja, fokus sama warna, gambar. Mereka asyik ke situ saja. Interpersonal relationship-nya anak juga akan terganggu gara-gara main gadget.”

“Tapi ya kembali bagaimana anaknya bermain. Kalau dia eksplor kanan-kiri, misalnya dia mencari trik baru dan lainnya, bisa baik efeknya. Tapi kalau dia hanya main biasa saja dan cuma bikin berisik ya tidak ada gunanya. Malah bikin yang dengar jadi stres.”

Caesarianda Kusumawati di Bonn, Jerman, turut berkontribusi dalam artikel ini.

Artikel ini pernah dimuat di DW Indonesia dengan judul .

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram “Kompas.com News Update”, caranya klik link , kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan