kabinetrakyat.com – Sebanyak 58 anak di Iran , 45 anak laki-laki dan 12 anak perempuan di bawah 18 tahun, dilaporkan tewas sejak protes anti-rezim pecah.

Protes anti-rezim itu dimulai pada 16 September 2022, yang dipicu oleh kematian Mahsa Amini (22) saat berada di dalam tahanan polisi.

Dalam sepekan terakhir saja, 5 anak dilaporkan dibunuh oleh pasukan keamanan saat kekerasan berlanjut di seluruh negeri.

Kelima anak itu salah satunya adalah Kian Pirfalak, bocah berusia 9 tahun.

Ia menjadi korban pembunuhan pasukan keamanan di kota barat Izeh pada Rabu 16 November 2022.

Keluarga Kian Pirfalak mengatakan pasukan keamanan telah menembaki mobil mereka. Saat itu, bocah 9 tahun itu sedang duduk di bangku depan mobil bersebelahan dengan sang ayah.

Namun layanan pasukan keamanan Iran membantah bertanggung jawab atas kematiannya, menyalahkan penembakan itu pada “teroris”.

Kematian anak – anak Iran meningkat di tengah meningkatnya kekerasan di kota-kota di seluruh negeri, dengan protes yang tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.

Salah satu keluarga korban lainnya, Hassan Daroftadeh mengatakan putranya, Kumar, terkena tembakkan beberapa kali dari jarak dekat.

“Kumar hanya berdiri di jalan. Dia bahkan tidak mengatakan sepatah kata pun. Saya tidak tahu dengan hati nurani apa mereka membunuhnya. Piransyahr adalah kota kecil. Tidak ada protes malam itu, namun mereka membunuh anak saya. Dia hanya anak kecil,” kata Daroftadeh.

Daroftadeh menangisi pemakaman anaknya. Video kesedihannya pun viral di media sosial.

“Saya hancur. Kumar adalah garis hidup ibunya,” katanya.

“Rezim Iran menyangkal membunuhnya. Mereka kemudian mengatakan ‘orang asing’ telah membunuhnya. Saya tidak tahu bagaimana petugas yang membunuh anak saya memeluk anak -anaknya sendiri. Saya tidak tahu bagaimana dia tidur di malam hari,” katanya menambahkan.

Korban lainnya adalah Mohammad Eghbal (17). Ia tewas dalam perjalanan untuk salat Jumat ketika ditembak dari belakang di Zahedan, ibu kota provinsi Sistan dan Baluchistan.

Mohammad Eghbal telah bekerja sebagai pekerja konstruksi sejak usia sembilan tahun untuk menghidupi keluarga besarnya dan bermimpi menabung cukup uang untuk membeli smartphone sehingga dia dapat membuka akun Instagram.

“Mayat tergeletak di lantai dengan jeritan dan tangisan ibu memenuhi udara,” kata kerabat Eghbal.

Namun remaja itu malah dicap teroris oleh media pro-rezim.

Keluarga Eghbal tentunya tidak terima dengan cap teroris itu.

“Dia masih kecil, dia tidak tahu apa artinya menjadi separatis,” kata kerabatnya.***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan