Banyak Insiden Stalking, Perempuan Korea Tuntut Perlindungan

kabinetrakyat.com – Berita pembunuhan seorang wanita Korea Selatan yang dibuntuti oleh tersangka sempat menghebohkan masyarakat Negeri Ginseng. Tersangka bernama Jeon Ju Hwan dilaporkan telah menguntit korban selama bertahun-tahun. Hal ini sontak memicu adanya tuntutan masyarakat akan perubahan undang-undang untuk melindungi wanita dengan lebih baik.

Korban berusia 28 tahun, yang tidak disebutkan namanya, ditikam beberapa kali setelah menyelesaikan shift malamnya di stasiun Sindang, di pusat kota Seoul. Sang korban kemudian meninggal di rumah sakit karena luka-lukanya.

Jeon Ju Hwan diadili atas tuduhan menguntit dan diduga mengayunkan senjata untuk membunuh korban di kamar mandi Stasiun Sindang di Seoul pada malam tanggal 14 September 2022.

Laporan media Korea Selatan menuduh Jeon mulai melecehkan wanita itu setelah mereka mulai bekerja di Seoul Metro pada tahun 2019. Diketahui, Jeon Ju Hwan sering meneleponnya hingga ratusan kali dan memohon kepada korban untuk mengajaknya berkencan. Tersangka juga dituduh mengancam akan menyakiti korban jika dia menolak.

Setelah korban melaporkan Jeon pada Oktober lalu, dia diberhentikan dari pekerjaannya dan ditangkap, namun akhirnya dibebaskan dengan jaminan. Seperti banyak tersangka penguntit lainnya, Jeon tidak dikenai perintah penahanan.

“Kejahatan itu sangat kejam dan brutal,” kata kantor berita Yonhap, mengutip panel polisi dan ahli dalam sebuah pernyataan.

Jeon ditangkap atas tuduhan pembunuhan, dan putusan atas dakwaan penguntitannya telah ditunda hingga 29 September.

Kematian korban telah memicu kemarahan di antara warga. Sebagian menuduh bahwa pihak berwenang Korea Selatan gagal menangani kekerasan terhadap wanita secara serius.

Menteri Kesetaraan Gender dan Keluarga Korea Selatan, Kim Hyun-sook, dikritik habis-habisan setelah dia mengatakan tidak percaya bahwa pembunuhan wanita itu adalah bentuk kejahatan dan kebencian berbasis gender.

Selama kunjungan ke stasiun Sindang, Kim mengatakan kepada wartawan bahwa dia tidak menganggap isu gender sebagai faktor pemicu. “Saya tidak setuju bahwa kasus ini harus dibingkai sebagai laki-laki versus perempuan,” katanya.

Sementara itu, juru kampanye hak-hak perempuan menunjukkan bahwa hampir 80% korban penguntit di Korea Selatan adalah perempuan. Berbicara di majelis nasional baru-baru ini, Kim menyarankan bahwa kejahatan itu bisa dicegah jika korban meminta perlindungan dari bantuan kementerian dan mengambil tindakan pencegahan lainnya.

Sebuah undang-undang anti-penguntit yang mengancam hukuman penjara maksimum tiga tahun dianggap tidak cukup kuat. Ini karena UU tersebut mengizinkan polisi untuk mengambil tindakan hanya jika ada persetujuan korban. Celah itu, menurut kritikus, memberi penguntit kesempatan untuk menekan korbannya agar membatalkan pengaduan mereka.

Sejak undang-undang tersebut berlaku, polisi telah melakukan 7.152 penangkapan karena menguntit, tetapi hanya 5% dari tersangka yang ditahan.

Kementerian kehakiman dilaporkan sedang mempertimbangkan untuk menghapus persyaratan persetujuan.

Sebelum undang-undang baru diperkenalkan, menguntit diperlakukan sebagai pelanggaran ringan di Korea Selatan yang hanya dapat dihukum dengan denda ringan, menurut Korea Herald.

Sementara itu, sebuah laporan baru-baru ini oleh Universitas Kepolisian Nasional Korea menemukan bahwa hampir 4 dari 10 pembunuhan pasangan dekat didahului oleh insiden penguntitan. Kasus pembunuhan tersebut menyoroti perjuangan berkelanjutan Korea Selatan melawan kejahatan berbasis gender.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan