Merdeka.com – Dalam konteks bernegara, konsep kemandirian ekonomi, telah lama digagas terutama oleh para pendiri bangsa (founding fathers). Presiden pertama kita, Soekarno, atau yang populer dipanggil Bung Karno pada masa-masa awal perjuangan kemerdekaan telah menyuarakan mengenai kemandirian ekonomi.

Gagasan mengenai kemandirian ekonomi tersebut antara lain dapat ditemukan pada pidato pembelaannya ‘Indonesia Menggugat’ ketika Bung Karno menghadapi pengadilan kolonial di Bandung, 92 tahun yang lalu, tepatnya pada 18 Agustus 1930. Konsep kemandirian ekonomi Bung Karno tersebut dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kolonialisme Belanda telah menimbulkan kesengsaraan rakyat berikut ekses lainnya di bidang ekonomi.

Setelah menjadi presiden pun, Bung Karno konsisten mengusung gagasan kemandirian ekonomi. Pada masa pemerintahannya, Bung Karno pernah mengeluarkan gagasan Ekonomi Berdikari yang merupakan penjabaran dari konsep dari kemandirian ekonomi. Yaitu, membangun ekonomi bangsa berdasarkan kekuatan dan kemampuan sendiri dan tidak bergantung pada pihak asing.

Namun demikian, sebagaimana disampaikan dalam pidatonya di depan Sidang Umum ke-IV MPRS pada 22 Juni 1966, Bung Karno menegaskan bahwa konsep Ekonomi Berdikari tidak berarti bahwa kita menolak kerja sama dengan luar negeri. Justru, sebagaimana disampaikan Bung Karno, kita memperluas perlu kerjasama internasional. Yang ditolak oleh Ekonomi Berdikari adalah ketergantungan kepada pihak asing dan kerja sama luar negeri yang tidak saling menguntungkan.

Mohammad Hatta, atau yang populer dipanggil Bung Hatta, juga banyak mengeluarkan gagasan tentang kemandirian ekonomi. Inti dari konsep kemandirian ekonomi yang ditekankan Bung Hatta adalah ekonomi bangsa harus dibangun oleh masyarakat secara gotong royong. Sedangkan tugas pemerintah adalah mengatur perekonomian dan melindungi ekonomi rakyat. Selain itu, pemerintah juga harus membina rakyatnya agar mampu menjalankan perekonomian bangsa secara mandiri.

Konsep kemandirian ekonomi Bung Hatta menekankan dua karakter sekaligus. Pertama, kekeluargaan. Kedua, kedisiplinan dan tanggung jawab. Maksudnya adalah bahwa pelaksanaan ekonomi bangsa harus dilandasi oleh semangat kebersamaan. Namun, dalam pelaksanaan aktivitas bisnisnya tetap harus dilaksanakan dengan penuh kedisiplinan dan tanggung jawab dari para individu pelaku ekonomi.

Kemandirian Ekonomi di Masa Kini: Memanfaatkan Kekuatan Domestik

Saat ini dan di masa depan, kita sedang dan akan menghadapi kondisi, tantangan dan peluang yang berbeda dibandingkan di masa lalu. Namun demikian, nilai-nilai dari konsep kemandirian ekonomi yang digagas oleh para founding fathers kita tak akan pernah lekang oleh waktu. Konsep kemandirian ekonomi akan abadi. Bahkan, dalam konteks kekinian, justru konsep kemandirian ekonomi telah berkontribusi menyelamatkan ekonomi kita dari krisis yang lebih parah, ketika pandemi Covid-19 terjadi.

Kita menyaksikan bahwa selama krisis pandemi terjadi, yaitu pelaku-pelaku UMKM memperlihatkan ketangguhannya (resilience) dalam menghadapi krisis. Salah satunya terlihat dari sektor pertanian yang merupakan sektor yang banyak melibatkan pelaku UMKM dan tenaga kerja konsisten tumbuh positif selama pandemi, di tengah banyak sektor lainnya yang mengalami kontraksi.

Indikator lainnya adalah di perbankan, dimana kredit untuk UMKM selama krisis pandemi juga memperlihatkan persistensinya cepat pulih dan tumbuh positif di tengah kredit untuk sektor lainnya terkontraksi. Kenapa bisa demikian? Karena UMKM banyak mengandalkan pasar lokal atau pembeli lokal (domestic demand). Kekuatan pasar domestik yang menyelamatkan perekonomian kita dari krisis.

Kekuatan domestik (lokal) lainnya yang turut menyelamatkan ekonomi kita dari krisis yang lebih parah akibat pandemi adalah komoditas. Hari ini kita menyaksikan bahwa dunia menjerit akibat tingginya harga komoditas. Komoditas pangan, energi dan logam mengalami lonjakan harga hingga puluhan bahkan ratusan persen. Inflasi pun meningkat tajam. Hari ini, dunia menempatkan inflasi sebagai salah satu ancaman terbesar di tengah ancaman terjadinya perlambatan ekonomi. Indonesia memang terdampak dari tingginya harga komoditas tersebut. Inflasi kita saat ini juga meningkat. Pada saat tulisan ini dibuat, inflasi kita secara tahunan (year on year, yoy) mencapai 4,35% pada Juni 2022.

Namun demikian, kita juga memperoleh keuntungan dari lonjakan harga komoditas tersebut. Booming komoditas, istilahnya, telah memberikan keuntungan berupa windfall. Ekspor non-migas, terutama dari komoditas dan industri berbasis pengolahan komoditas tumbuh signifikan. Booming komoditas inilah salah satu yang turut menghidupkan industri manufaktur kita.

Terlebih, pemerintah juga banyak memberikan insentif kepada industri. Alhasil, produksi manufaktur meningkat, ekspor juga meningkat. Kenaikan produksi dan ekspor tersebut memberikan kontribusi berupa pemasukan devisa dan meningkatkan penerimaan negara (APBN) berupa pajak. Sementara itu, kenaikan booming komoditas tersebut, selain memberikan pemasukan berupa devisa dan penerimaan pajak juga berkontribusi pada kenaikan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sekali lagi, kekuatan domestik terbukti telah turut menyelamatkan ekonomi kita.

Banyak studi yang membuktikan bahwa ekonomi yang mengandalkan potensi domestik akan lebih tahan dalam menghadapi krisis. Kita sudah memiliki pengalaman, baik di masa lalu maupun yang masih menjadi tantangan di masa kini, bahwa ketergantungan tinggi pada luar negeri telah menyebabkan rapuhnya perekonomian ketika terjadi krisis. Sebagai contoh, banyak pihak menyebut bahwa industri-industri yang dibangun pada awal 1990-an merupakan footlose industry, industri yang kurang mengakar pada kekuatan domestik.

Disebut demikian, karena industri-industri tersebut dijalankan dengan banyak mengandalkan bahan baku dari impor, memanfaatkan fasilitas perpajakan dan kepabeanan di bidang ekspor. Ekspor non-migas manufaktur kita tinggi saat itu, namun diikuti dengan impor yang tinggi pula. Nah, ketika krisis moneter terjadi menjelang akhir 1997, industri-industri tersebut banyak yang collapse karena tidak mampu menanggung tingginya biaya impor akibat pelemahan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat (USD).

Kembali kepada konsep kemandirian ekonomi, kita diberkahi oleh Tuhan Yang Maha Esa, potensi kekayaan alam yang begitu melimpah. Kita memiliki sumber daya alam yang melimpah di bidang pangan, kelautan dan maritim, energi dan pertambangan, termasuk potensi alam dan kekuatan budaya yang dapat menjadi sumber kekuatan ekonomi kita.

Nah, potensi kekayaan ini perlu dimanfaatkan secara maksimal untuk membangun kemandirian ekonomi, terutama untuk masa depan. Kekayaan sumber daya alam, seperti komoditas sebagaimana telah dijelaskan di atas, ke depan harus menjadi basis bagi industrialisasi kita ke depan. Itulah kenapa pemerintah saat ini mendorong pengembangan hilirisasi berbasis kekuatan sumber daya alam (resourced-based industry) yang kita miliki sebagai bagian dari langkah-langkah transformasi struktural di bidang industri.

Melalui kebijakan hilirisasi tersebut nantinya nilai tambah yang kita peroleh dari sumber daya alam menjadi lebih besar. Termasuk juga, pengembangan hilirisasi tersebut juga dalam rangka substitusi impor karena produk impor yang kita lakukan saat ini bahan bakunya dari Indonesia. Ke depan, Indonesia harus memiliki lebih banyak industri berbasis agro, industri berbasis mineral hasil tambang, dan industri berbasis migas dan petrokimia.

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Salah Satu Pilar Membangun Kemandirian Ekonomi

Selain mengembangkan industri berbasis sumber daya alam, potensi pariwisata dan ekonomi kreatif (Parekraf) juga dapat diandalkan sebagai salah satu pilar untuk membangun kemandirian ekonomi bangsa. Sektor Parekraf adalah sektor yang boleh dikatakan paling sedikit atau bahkan mungkin nol (zero) kandungan (content) impornya. Sehingga, sangat sedikit atau bahkan hampir tidak ada devisa yang dikeluarkan untuk menjalankan kegiatan usaha di sektor Parekraf.

Bahkan, sektor Parekraf menjadi sektor yang menghasilkan devisa masuk ke Indonesia. Pelaku usaha yang terlibat pada sektor parekraf sebagian besar pengusaha lokal dan merupakan UMKM. Keberadaan sektor Parekraf juga memberikan dampak pengganda (multiplier effect) yang besar, tidak hanya dari aspek ketenagakerjaan pada sektor tersebut juga terhadap sektor-sektor lainnya.

Sebagai contoh, gelaran MotoGP Mandalika pada Maret 2022 lalu, terbukti memberikan multiplier effect yang signifikan bagi perekonomian dan khususnya sektor Parekraf di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan sekitarnya. Perhitungan Kemenparekraf menunjukkan bahwa MotoGP Mandalika lalu memberikan nilai tambah kepada Indonesia bahkan mencapai Rp4,5 triliun. Pertumbuhan ekonomi NTB pada triwulan I-2022 sebesar 7,76% (yoy) lebih tinggi dibanding pertumbuhan ekonomi secara nasional yang sebesar 5,01% (yoy).

Indonesia sangat beruntung dengan keberadaan sektor Parekraf saat ini. Di saat perekonomian sedang bergerak pulih, Indonesia menjadi Presidensi G-20 yang berarti menjadi tuan rumah bagi event G-20 yang pastinya akan mendatangkan tamu-tamu internasional dari berbagai negara. Dengan kedudukan tersebut, sektor Parekraf dapat menjadi pendorong bagi pertumbuhan di daerah-daerah tempat berlangsungnya G20, yaitu Bali dan sekitarnya.

Sektor Parekraf memiliki potensi untuk memperkuat struktur ekonomi dan mendukung percepatan transformasi ekonomi, sekaligus menjadi salah satu pilar untuk membangun kemandirian ekonomi. Ini mengingat, sektor Parekraf memiliki karakteristik yang kuat pada muatan (content) lokalnya. Salah satunya adalah tercermin pada perolehan devisa yang cukup tinggi.

Berdasarkan studi Bank Indonesia (2019) memperlihatkan bahwa sektor pariwisata adalah sektor yang memberikan sumbangan devisa yang besar, tercermin pada perolehan devisa pariwisata yang terdiri dari travel dan transportasi mencapai USD18,4 miliar pada 2019. Jika dibandingkan dengan ekspor jasa lainnya, pangsa devisa pariwisata merupakan yang tertinggi, yakni mencapai 54% terhadap total ekspor jasa.

Pangsa tersebut juga menunjukkan tren peningkatan dari 2014 yang tercatat sebesar 44% terhadap total ekspor jasa. Surplus neraca jasa pariwisata juga terjaga, ditopang oleh devisa pariwisata yang konsisten meningkat. Selain itu, kinerja pariwisata yang membaik menempatkan nilai devisa sektor pariwisata terbesar kedua setelah ekspor batu bara, dan lebih tinggi dibanding minyak sawit (CPO), industri lainnya, dan besi/baja.

Potensi alam dan budaya Indonesia yang diakui dunia turut menopang perkembangan sektor pariwisata. Bali sebagai salah satu destinasi pariwisata utama Indonesia menjadi salah satu destinasi yang populer di dunia. Selain Bali, Indonesia masih memiliki potensi destinasi berbasis natural dan cultural yang sudah cukup dikenal di tingkat global, di antaranya Lombok, Labuan Bajo, Borobudur, Raja Ampat, dan Danau Toba.

Potensi destinasi wisata Indonesia bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan negara peers. Dan peluang untuk menjadikan Parekraf sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru juga ditopang oleh permintaan pariwisata global yang diperkirakan akan terus meningkat di masa mendatang.

Kita menyadari bahwa salah satu tantangan dari upaya membangun kemandirian ekonomi adalah isu produktivitas. Isu produktivitas ini juga menjadi tantangan yang dihadapi sektor Parekraf. Sesuai dengan pesan Bung Hatta di atas, memang menjadi tugas pemerintah bahwa dalam upaya membangun kemandirian ekonomi, termasuk di sektor Parekraf.

Pemerintah terus membina dan melatih masyarakat (dalam hal ini pelaku di sektor Parekraf) agar produktivitas mereka terus meningkat. Oleh karena itulah, pemerintah dalam hal ini Kemenparekraf terus mendorong berbagai program dan kegiatan membina para pelaku Parekraf agar mampu meningkatkan kompetensi dan daya saingnya.

Pemerintah juga mengembangkan infrastruktur dasar sebagai prioritas dalam upaya peningkatan daya saing sektor pariwisata. Promosi intensif melalui media digital, online travel agent, dan perluasan hotdeals juga dilakukan untuk mendukung peningkatan daya saing Travel & Tourism (T&T) Policy. Tidak hanya itu, pemerintah juga terus meningkatkan kualitas tempat destinasi, atraksi dan amenitas di masing-masing destinasi untuk meningkatkan daya saing sumber daya alam dan budaya. Penguatan sektor pariwisata juga didukung sinergi antarpemangku kebijakan, yang salah satunya diperkuat melalui pembentukan Sekretariat Bersama (SekBer).

Kita menyadari bahwa proses perjalanan menuju kemandirian ekonomi khususnya dari sektor Parekraf masih jauh. Namun, dengan melihat perkembangan-perkembangan saat ini, kita optimis sektor Parekraf akan mampu memperlihatkan dirinya layak menjadi salah satu pilar penting dalam mewujudkan kemandirian ekonomi. Dan kita yakin bahwa kemandirian ekonomi di berbagai bidang, akan mampu menjadi pondasi untuk menggenggam masa depan Indonesia menjadi lebih baik.

grafis kemenparekraf

[noe]


Artikel ini bersumber dari www.merdeka.com.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan