Merdeka.com – Saat memanasnya ketegangan di antara Amerika Serikat (AS), Rusia dan China menghidupkan kembali ketakutan lama akan perang nuklir, beberapa peneliti memperingatkan perang nuklir skala terbatas antara negara-negara seperti India dan Pakistan konsekuensinya juga tidak kalah besar, mempengaruhi pasokan makanan global dan memicu kematian massal di seluruh dunia.

Konflik nuklir yang melibatkan kurang dari 3 persen dari persediaan dunia dapat membunuh sepertiga dari populasi dunia dalam waktu dua tahun, menurut sebuah studi internasional baru yang dipimpin para ilmuwan di Universitas Rutgers. Konflik nuklir yang lebih besar antara Rusia dan AS dapat membunuh tiga perempat populasi dunia dalam jangka waktu yang sama, menurut penelitian yang diterbitkan pada Senin di Nature Food.

“Ini benar-benar kisah peringatan bahwa setiap penggunaan senjata nuklir dapat menjadi bencana bagi dunia,” jelas ilmuwan iklim dan penulis studi Alan Robock, seorang profesor terkemuka di Departemen Ilmu Lingkungan Universitas Rutgers, dikutip dari laman South China Morning Post, Selasa (16/8).

Temuan ini dirilis 30 tahun setelah berakhirnya Perang Dingin – ancaman bencana nuklir sekarang mungkin lebih besar daripada sebelumnya.

Kendati Robock dan peneliti lain sebelumnya memproyeksikan perang nuklir akan mengakibatkan gangguan yang luar biasa pada iklim dan persediaan pangan, studi baru-baru ini menandai pertama kalinya para peneliti menghitung tingkat potensi kelaparan yang akan terjadi dan berapa banyak orang yang akan mati.

Menurut para peneliti, ledakan bahkan sebagian kecil dari senjata nuklir dunia akan memicu badai api besar yang akan dengan cepat menyebarkan jelaga yang menghalangi sinar matahari ke atmosfer, memicu pendinginan iklim secara tiba-tiba.

Para peneliti menggunakan model iklim untuk menghitung berapa banyak asap yang akan mencapai stratosfer – di mana tidak ada presipitasi yang terjadi untuk menghilangkannya – dan bagaimana hal ini akan mengubah suhu, curah hujan, dan sinar matahari. Kemudian mereka menghitung bagaimana perubahan ini akan mempengaruhi produksi berbagai tanaman, serta bagaimana ikan akan merespons perubahan di laut.

Akibatnya, mereka memproyeksikan puluhan juta kematian langsung di zona perang akan diikuti oleh ratusan juta kematian akibat kelaparan di seluruh dunia.

Robock mengatakan, hal itu tanpa memperhitungkan efek peningkatan radiasi ultraviolet pada tanaman karena kerusakan lapisan ozon yang disebabkan pemanasan stratosfer. Efek seperti itu, yang diharapkan peneliti untuk diukur dalam studi di masa yang akan datang, kemungkinan akan memperburuk dampak yang akan terjadi.

Menurut hipotesis para peneliti, konflik nuklir paling mungkin terjadi antara Pakistan dan India, mengingat kedua negara telah berperang dalam empat perang dan masih sering terjadi konflik di perbatasan.

Jika India dan Pakistan masing-masing menargetkan pusat kota di negara lawan dengan 250 senjata nuklir 100 kiloton, yang diyakini mereka miliki, sekitar 127 juta orang di Asia Selatan akan terbunuh karena ledakan, kebakaran, dan radiasi, menurut studi tersebut.

Diperkirakan 37 juta ton jelaga akan menembus atmosfer, menyebabkan suhu di seluruh planet turun lebih dari 5 derajat Celcius, kisaran yang terakhir dialami selama Zaman Es, menurut penelitian sebelumnya oleh Robock dan lainnya.

Akibatnya, produksi makanan akan musnah, dengan jumlah kalori yang tersedia dari tanaman utama dan perikanan turun hingga 42 persen dan menyebabkan kelaparan yang akan membunuh lebih dari 2 miliar orang di seluruh dunia, menurut penelitian terbaru.

Jika terjadi perang yang lebih besar antara AS dan Rusia, yang bersama-sama diyakini menyimpan lebih dari 90 persen cadangan nuklir dunia, diperkirakan 5 miliar orang di seluruh dunia akan mati, menurut penelitian tersebut.

Tetapi salah satu dari sembilan negara bersenjata nuklir, yang juga termasuk China, Korea Utara, Prancis, Israel dan Inggris, memiliki nuklir yang dapat menyebabkan penderitaan dan kematian yang sangat besar di seluruh dunia.

Robock mengatakan, meskipun tidak mungkin untuk menguji teori itu secara langsung, ada analog di dunia nyata. Kebakaran hutan besar-besaran di British Columbia pada 2017 dan di Australia pada 2019 dan 2020 memompa asap ke stratosfer, sebuah temuan yang dikonfirmasi oleh pengamatan satelit. Matahari kemudian memanaskan partikel asap, mengangkatnya lima hingga 8-24 km lebih jauh ke atmosfer.

Baca juga:
Sekjen PBB: Dunia di Ujung Tanduk Perang Nuklir
Vladimir Putin: Tidak Ada yang Bisa Menangkan Perang Nuklir
Kim Jong-un Sebut Negaranya Siap Perang Nuklir dengan AS
Kota New York Rilis Video Cara Selamatkan Diri dari Serangan Nuklir
Rusia Ingin Kerja Sama Industri Nuklir dengan Indonesia, Begini Respons Menteri ESDM


Artikel ini bersumber dari www.merdeka.com.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan