kabinetrakyat.com – “Wong wedok kok mbarong?”. Kalimat bernada sinis yang berarti “Orang perempuan kok membarong?” itu beberapa kali terdengar dan sempat membuat gundah Intan Ayu Paramitasari (28 tahun), pembarong perempuan dalam seni tradisi Reog Ponorogo.

Menghadapi itu, sempat muncul perang batin dalam diri Intan. Menuruti penilaian orang lain atau membebaskan pilihan hati untuk ikut memelihara warisan leluhur di bidang kesenian.

Lama-lama kalimat perintang atas pilihan kiprahnya itu menjadi biasa bagi Intan, dan pada ujungnya tidak pernah lagi didengar. Orang lain itu lelah sendiri melawan semangat berkesenian di dalam jiwa Intan.

Pembarong dalam kesenian Reog tergolong aktor utama. Pembarong adalah pemain Reog yang bertugas membawa dadak merak atau topeng berwajah harimau dengan hiasan bulu merak. Umumnya, pembarong dimainkan oleh laki-laki karena berat dadak merak yang harus dimainkan mencapai 80 kilogram.

Seorang pembarong harus mampu membawa dadak merak dengan mengandalkan kekuatan gigi dan pundak serta didukung kekuatan otot leher. Sementara kedua tangan hanya digunakan untuk menampilkan gerak tari.

Karena itulah masyarakat menilai aneh ketika Intan yang awalnya merupakan penari jathil dalam sebuah grup Reog, kemudian beralih ke pembarong.

Jathil adalah tarian pengiring dalam tradisi Reog yang melambangkan pasukan berkuda. Penari Jathilan ini adalah perempuan-perempuan dengan paras ayu.

Intan berkisah awalnya beralih dari pemain berciri feminin kemudian menjadi maskulin. Saat itu ia merasa jenuh menjadi penari jathil dan ingin mencoba hal baru yang lebih menantang. Di grup awal dia barmain Reog, ia iseng ingin mencoba membarong.

Pertama kali mencoba memainkan barong, Intan tidak menghadapi masalah. Maklum, barong yang digunakan kala itu tergolong mini dengan berat sekitar 30 kilogramdan tinggi 180 centimeter.

Merasa tidak ada tantangan dengan barong mini, ia kemudian mencoba barong besar dengan berat 80 Kg dan tinggi 235 Cm. Di sinilah jiwa menyukai tantangan semakin tumbuh. Kala itu Intan sempat limbung karena kesulitan mengatur keseimbangan.

Selain itu, setiap selesai bermain atau berlatih menjadi pembarong giginya terasa sakit, termasuk rasa sakit pada otot leher dan pundak.

Bukannya menyerah, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Ponorogo angkatan 2020 ini justru menjadi lebih giat berlatih.

Latihan itu bukan hanya dilakukan dengan menari sambil memanggul dadak merak di sanggar, tapi juga di luar permainan. Setiap hari selama satu bulan, di rumah, ia berlatih mengangkat beban semacam barbel seberat 10 Kg menggunakan kekuatan gigi dan otot leher. Barbel itu ia angkat dengan cara digerek menggunakan tali yang digigit.

Lama-lama, kekuatan gigi dan leher Intan sudah lebih bagus. Meskipun demikian bukan berarti perjuangan Intan selesai. Ia belum sepenuhnya bisa bermain sebagai pembarong dengan aman. Suatu ketika ia pingsan begitu selesai bermain atau melepaskan dadak merak.

“Waktu itu kepala saya pusing, mata berkunang-kunang dan saya langsung pingsan,” katanya dalam perbincangan dengan ANTARA, seusai ia tampil memeriahkan acara wisuda sarjana di kampus tempatnya kuliah.

Namun, kejadian itu tidak membuatnya fatal dan ketika siuman tidak ada rasa trauma. Ia tetap pada pilihannya sebagai pembarong.

Pada pementasan lain, ia sempat terjungkal ke belakang saat hendak melakukan atraksi mengibas-ngibaskan bulu merak. Basir, suami Intan, kala itu sempat panik dan segera menolong isterinya.

Lagi-lagi, peristiwa itu tidak membuat Intan jera untuk bermain barong. “Prinsip saya kalau orang laki-laki bisa, pasti perempuan juga bisa. Dan saya nikmati peran demi nguri-uri(melestarikan) kebudayaan kita,” kata ibu satu anak ini.

Terkait kalimat tanya bernada miring mengenai perempuan kok bermain barong itu, Intan menghadapinya dengan masa bodoh. Ia lebih memilih berpikir positif, apalagi Basir, sang suami, sangat mendukung aktivitas dia.

“Saya tidak ada masalah istri saya membarong. Ini kan untuk melestarikan budaya bangsa. Jadi, tidak peduli dengan omongan orang,” kata Basir, menimpali.

Sejak kecil

Intan aktif dalam permainan Reog sejak kecil, namun ia tidak ingat lagi saat itu usianya berapa tahun. Dari awal terlibat dalam Reog, ia menjadi penari jathil.

Baru pada 2014 beralih haluan dengan menjadi pembarong. Hingga kini ia masih menikmati pilihan hidupnya itu.

Lewat kesenian Reog, ia sudah pernah berkeliling pentas ke berbagai daerah di Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera.

Untuk memperdalam keterampilan membarong, ia pernah berguru kepada legenda Reog Ponorogo, yakni Mbah Wondo, pembarong sepuh, kini berusia 80 tahun. Mbah Wondo adalah kembaran dari Mbah Wandi yang juga seorang pembarong. Selain itu, ia juga rajin menonton pertunjukan grup lain di kanal youtube untuk menambah pengetahuan.

Bermain barong dengan berat hingga 80 kilogrambukannya tanpa risiko. Karena itu, seorang pembarong melengkapi diri dengan sarana pendukung, salah satunya adalah stagen yang melilit perut agar pemain terhindar dari risiko usus turun.

Tidak lupa dengan ikhtiar batin dan spiritual, setiap hendak bermain, Intan selalu mengawali dengan membaca basmalah dan syahadat. Ia bersyukur, dengan ikhtiar lengkap itu, Intan tidak pernah mengalami kecelakaan fatal selama bermain.

Hanya saja, jiwa suka tantangan masih sering meronta-ronta dalam dirinya, karena merasa belum bisa bermain dengan gerakan atau atraksi total, seperti pembarong laki-laki.

Intan mengaku kesulitan untuk melakukan gerak dinamis, termasuk bergulung dan gerakan kayang kemudian menyentak saat bermain. Selain itu, ia masih kesulitan untuk mengangkat dan memasang sendiri dadak merak. Untuk itu ia selalu dibantu oleh suaminya.

Agar tidak terjebak dalam kubangan frustasi, Intan lebih memilih menyadari bahwa dirinya adalah perempuan, sehingga tidak harus sama persis dengan keterampilan pembarong laki-laki.

Bermain sebagai pembarong, Intan harus memendam naluri keperempuanannya, khususnya terkait kesan cantik dan molek. Dengan menjadi pembarong, tidak mungkin ia tampil dengan naluriah perempuan agar terlihat cantik. Sebaliknya, ia harus terlihat perkasa dengan membawa dadak merak.

Meskipun demikian, ia mengakui bahwa terkadang muncul godaan-godaan untuk tampil cantik itu. “Tapi saya kan sudah kadung seneng dengan peran ini. Lagian selama ini orang mengenal saya kan pembarong,” katanya.

Tambahan amunisi semangat untuk tidak lelah menjadi pembarong adalah saat-saat penonton merasa mendapat kejutan ketika tahu bahwa si pembarong yang mereka tonton adalah perempuan. Tepuk tangan meriah dari penonton yang kaget melihat perempuan menjadi pembarong memberi tambahan energi bagi Intan.

Pengajuan seni Reog oleh pemerintah Indonesia agar ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda pada Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada 18 Februari 2022 juga menjadi penyemangat tersendiri bagi Intan.

Bukan mata pencaharian

Intan dan suaminya, Basir, menekuni seni Reog bukan bermotif sebagai mata pencaharian. Apalagi upah yang dia terima selesai pentas tidak seberapa. Jika bermain di Kota Ponorogo ia menerima honor Rp100 ribu hingga Rp150 ribu, dan pernah mendapatkan Rp300 ribu saat bermain di luar kota. Jumlah honor itu tentu tidak sebanding dengan waktu latihan dan risiko yang mengancam pemain pembarong. Apalagi tidak setiap saat selalu ada tanggapan.

Intan dan suami memang tidak menggantungkan hidupnya pada seni Reog. Jika saat bermain ia mendapatkan honor, hal itu ia nilai hanya untuk menambah uang jajan anak. “Saya tidak pernah menganggap bermain di Reog ini sebagai pekerjaan. Ini panggilan jiwa saya. Leluhur mengatakan, ‘uripono seni, ojok nggolek urip soko seni‘ (Hidupilah seni, jangan mencari hidup di seni). Ini yang saya pegang,” katanya.

Untuk keperluan hidup, ia mengandalkan pendapatan suami yang bekerja sebagai sopir. Sementara untuk biaya kuliah, Intan beruntung karena mendapatkan beasiswa dari pemerintah.

Intan bertekad, selama masih bisa bermain tidak akan “pensiun”. Tentu juga selama giginya masih utuh dan masih bisa digunakan. “Terus bermain, sampai tidak kuat lagi,” katanya.

Mengenai pendidikan, kelak setelah lulus kuliah S1, ia berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang S2 dengan pilihan jurusan seni tari. Ia berharap, dengan perangkat pendidikan formal itu dapat lebih maksimal untuk menjaga dan melestarikan seni Reog. Ia juga bercita-cita, kelak memiliki sanggar seni, termasuk mengajak perempuan lain yang berminat untuk menjadi pembarong.

Sementara Ketua (Rektor) STKIP PGRI Ponorogo Dr Sutejo, MHum, yang juga budayawan mengaku salut dengan keteguhan hati Intan dalam ikut menguri-uri kebudayaan warisan leluhur Ponorogo.

Ia berterima kasih pada mahasiswanya itu mau menjadi bagian dari upaya memelihara kesenian yang di dalamnya mengandung nilai-nilai luhur. Dalam seni Reog ada tiga hal yang dilatih, yakni wirogo (gerak tari), wiromo (iringan musik) dan wiroso (olah rasa atau jiwa).

“Kalau melihat honor yang didapat oleh Intan ini, memang sangat tidak masuk akal, tidak adil. Sekali main hanya dibayar Rp100 ribu atau Rp150 ribu. Untunglah dia masih semangat untuk kuliah, sehingga bisa untuk bekal penataan ekonominya di masa depan,” kata penulis puluhan buku ini.

Menurut dia, gerak tari dan musik dalam Reog tergolong dinamis, sehingga mengajak pemirsanya untuk selalu bersemangat. Meskipun demikian, ada juga gerakan-gerakan halus dalam atraksi itu, yang mengajak kita untuk menikmati ketentraman.

“Karena itu, di Inggris, seni karawitan itu dijadikan sarana terapi jiwa. Maka, sudah selayaknya kalau kita peduli terhadap pelestarian dan pengembangan budaya tradisi luhur ini,” katanya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan