Suara.com – Pelaku industri ikan dan pakar maritim di Australia meminta Pemerintah Australia untuk memikirkan kembali kebijakan perbatasan maritim dengan Indonesia, setelah tragedi yang terjadi di lepas pantai Kimberley, Australia Barat, awal tahun lalu.

Sembilan nelayan Indonesia tenggelam saat gelombang besar membalikkan perahu mereka di dekat Ashmore Reef pada bulan Maret 2021.

Tiga orang yang selamat dilarikan ke Rumah Sakit Darwin setelah terombang-ambing di tengah lautan.

Tragedi itu kemudian berbuah sorotan pada kebijakan perbatasan maritim di sebelah utara Australia, apalagi Pasukan Perbatasan Australia terus mencatat kenaikan jumlah kedatangan nelayan dari Indonesia selama pandemi COVID-19.

Baca Juga:
Status Gunung Anak Krakatau Siaga Level III, Beberapa Nelayan Masih Mencari Nafkah

Para nelayan yang selamat mengatakan kepada ABC bahwa kondisi ekonomi di kampung halaman mereka, yakni di Rote di Nusa Tenggara Timur, menjadi alasan mereka mau mengambil risiko tinggi, seperti memancing teripang di perairan Australia selama musim hujan.

Image: Hanya tiga orang nelayan Indonesia yang selamat dari tenggelamnya kapal asal Indonesia bulan Maret lalu. ABC News: Ari Wu

Nelayan komersil, Grant Barker, mengatakan dia melihat dampak perekonomian di Indonesia tersebut di perairan utara Australia, saat ia bekerja di kawasan Australia barat dan pantai utara Australia.

“Ini jelas menandakan mereka sangat putus asa sampai mau mengambil risiko itu di musim hujan,” katanya.

A wrecked boat, capsized and half submerged Image: Kapal nelayan yang tenggelam di kawasan Ashmore Reef. Koleksi: Kupang Search and Rescue

Grant merasa, kombinasi pandemi dan penutupan perbatasan telah mendorong nelayan yang putus asa ini untuk mengarungi perairan Australia.

Dia mengatakan kondisi COVID-19 di Indonesia juga berkontribusi pada longgarnya petugas patroli perbatasan yang malah semakin mendorong banyaknya nelayan ilegal.

Baca Juga:
Sejumlah 13 Nelayan Merauke Ditangkap Tentara Papua Nugini, Kedubes Indonesia Minta Akses untuk Bertemu

“Mereka tahu bahwa Pemerintah Federal di Australia memiliki pendekatan yang ‘lunak’ terhadap keamanan perbatasan selama dua tahun terakhir,” kata Grant.

A man in a collared shirt, in front of a beach Image: Grant Barker adalah nelayan komersil legal yang biasanya mencari ikan di Darwin and Broome.  ABC Kimberley

Menurutnya, konsekuensi paling berat yang bisa dihadapi oleh nelayan ilegal adalah dikembalikan ke perairan Indonesia. Ini terlihat dari rasa keengganan untuk menangkap kapal atau menghampiri dan menjemput mereka di tengah laut.

Jumlah kedatangan nelayan Indonesia ke perairan utara Australia telah meroket dalam beberapa bulan terakhir, sehingga para pakar menekan Pemerintah Federal Australia untuk memikirkan kembali bagaimana menghadapi masalah ini bersama Indonesia.

Kelompok kerja gabungan kedua negara telah dibentuk awal tahun ini, dengan hasil digelarnya kampanye informasi publik untuk membantu mendidik nelayan Indonesia terkait di mana mereka boleh dan tidak boleh menangkap ikan.

Indonesian fishermen wave at the camera from a fishing boat Image: Sejumlah nelayan Indonesia juga pernah ketahuan berada di kawasan Rowley Shoals, dekat Australia Barat. Supplied: Harley Cuzens

Tapi Vivian Forbes, profesor dari University of Western Australia, yang mempelajari perbatasan laut mengatakan, sulit untuk memberi tahu nelayan tradisional soal perbatasan diplomatik.

“Apa pun program edukasi yang kita berikan atau pamflet yang kita hasilkan, itu tidak akan benar-benar meresap ke nelayan lokal,” ujarnya.

“Saya melihat mereka malah melipat kertas yang kita berikan untuk dibentuk jadi pesawat.”

Tapi Dr Forbes mengatakan persepsi kebijakan pemerintah Australia yang “lunak” terhadap nelayan Indonesia tidak sepenuhnya akurat.

“Saya kira kita tidak terlalu lunak, tetapi secara keseluruhan Australia sangat murah hati kepada para nelayan Indonesia, dan dalam hal ini, kepada orang-orang dari Timor” katanya.

A man with glasses in a suit in front of a beige background Image: Dr Vivian Forbes mengatakan Australia sudah berbaik hati dengan nelayan asal Indonesia. Supplied

“Kita perlu duduk bersama mereka dan menjelaskan kepada mereka — orang-orang ini memancing di perairan [Australia] dan kita berada di batas kemampuan kita mengenai seberapa banyak kontrol perbatasan dan pencarian dan penyelamatan yang dapat kita lakukan sendiri.

“Kita perlu secara serius menyatukan kedua pemerintah dan memecahkan masalah ini … dan membuat garis yang kokoh di lautan.”

Presiden Institut Indonesia, Ross Taylor mengatakan sangat penting untuk mengembangkan kebijakan perbatasan maritim, yang sudah disadari oleh pihak berwenang Australia sebagai tantangan yang sudah dihadapi selama beberapa tahun terakhir.

“Saya pikir kita perlu mengambil napas dalam-dalam dan di saat mengatakannya sebagai penangkapan ikan ilegal, kadang-kadang kita [Australia] mengambil pandangan yang terlalu fokus dan sedikit arogan tentang masalah ini,” katanya.

“Kita berbicara tentang orang-orang yang berpenghasilan tidak lebih dari Rp60 ribu per hari, itulah hidup mereka, itulah mata pencaharian mereka, mereka harus bisa menangkap ikan.”

Ross mengatakan dari perspektif Indonesia, “kotak MOU” di Laut Timor perlu dipertimbangkan kembali

‘Kotak’, dekat Ashmore Reef tempat tragedi nelayan Indonesia tenggelam terjadi, melarang perahu bermotor nelayan komersial dan hanya mengizinkan nelayan tradisional.

“Yang dibutuhkan adalah peninjauan kembali apa yang kita sebut sebagai kotak MOU sepenuhnya untuk memungkinkan penggunaan perairan yang mungkin dibatasi di sekitar Ashmore,” katanya.

“Salah satu opsinya adalah Australia dan Indonesia dapat membentuk lisensi terbatas untuk benar-benar mengizinkan penangkapan ikan secara formal di bawah pedoman ketat untuk terus berlanjut, daripada hanya memilikinya secara ad hoc. Jadi saya pikir ada banyak hal yang sebenarnya dapat kita lakukan.”

A white steepled church with motobikes sitting perched in front of the gates. Image: Nelayan Indonesia sudah mengambil risiko tinggi demi memberi makan keluarganya. ABC News: Ari Wu

Ross menilai pendekatan masalah kebijakan maritim ini ini bukan lunak, tapi ceroboh.

Ia mengatakan, peninjauan nota kesepakatan (MOU) bisa menjadi peluang unik untuk mendorong hubungan kedua negara.

“Satu-satunya pendekatan yang dimiliki Australia adalah menangkap para nelayan, yang pada dasarnya adalah orang-orang miskin yang perlu mencari ikan untuk menopang keluarga mereka dan bahkan lebih buruk lagi, membakar kapal mereka untuk memastikan mereka tidak memiliki mata pencaharian sama sekali,” katanya.

“Yang perlu dilakukan Australia dan Indonesia adalah duduk bersama untuk mengakui orang-orang ini, terutama dari Rote dan desa-desa di sana telah melakukan penangkapan ikan selama berabad-abad,” katanya.

“Kita perlu melihat konteks masalah yang lebih luas.”

Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia tidak menanggapi pertanyaan khusus dari ABC tentang apakah ada rencana untuk meninjau MOU atau perbatasan laut.

Seorang juru bicara mengatakan mereka melakukan pembicaraan rutin dan “peningkatan kapasitas, berbagi informasi dan kerja sama maritim yang lebih luas.”

Seorang juru bicara Menteri Perikanan, Murray Watt, mengatakan Pemerintah Australia berkomitmen untuk “mempertimbangkan kerangka kerja” dalam menangani praktik penangkapan ikan ilegal.

“Pemerintah sebelumnya mengalihkan perhatian mereka di banyak bidang dan tampaknya ini hanyalah contoh lain dari itu,” katanya.

Artikel ini diproduksi oleh Erwin Renaldi dari laporan ABC News.


Artikel ini bersumber dari www.suara.com.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan