BI Buka-Bukaan Fakta Baru Soal Rupiah Digital, Terbit 2023?

kabinetrakyat.com – Bank Indonesia (BI) mengungkapkan pihaknya saat ini sudah memiliki lini masa atau time line untuk menerbitkan Central Bank Digital Currency (CBDC) alias rupiah digital.Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Fitria Irmi Triswati menjelaskan, digital rupiah akan menjadi alat pembayaran yang sah di Indonesia. Selain itu, rupiah digital juga akan mendukung pelaksanaan tugas BI di bidang moneter, makroprudensial, dan juga sistem pembayaran di era digital.Rupiah digital, kata Fitria juga akan mendukung pengembangan sistem keuangan dan juga integrasi ekonomi keuangan digital secara nasional.

Fitria bilang, semua kajian-kajian mengenai rupiah digital secara komprehensif sudah termaktub di dalam sebuah white paper yang akan terbit tahun depan.Lantas, apakah rupiah digital juga akan terbit di 2023?“Kita lihat disitu, apakah kita bisa langsung implementasikan, apa kita punya timeline di situ, tapi saya belum bisa share lebih dari itu. Karena ini sangat membutuhkan keputusan high level di rapat dewan gubernur. Tapi prosesnya yang kita rencanakan begitu,” jelas Fitria di Bali, dikutip Senin (3/10/2022).“Saya belum bisa bilang (kapan rupiah digital diimplementasikan), tapi di white paper tersebut tentunya akan ada perkiraan time line,” kata Fitria lagi.

Mitigasi Risiko dan Keberadaan Uang KartalKendati demikian, Fitria memastikan, hadirnya rupiah digital di Indonesia nantinya, tidak akan berdampak luas terhadap sektor keuangan dan proses pemulihan ekonomi saat ini.Namun, Fitria tak menampik bahwa kebijakan sistem pembayaran selalu diikuti oleh inovasi dan risiko ke depan. Namun, BI sudah memitigasi risiko-risiko tersebut.“Standarnya, fitur-fiturnya sudah dilengkapi dengan fitur keamanan yang ada dan pasarnya juga tentunya sudah akan dipersiapkan. Jadi, penerbitannya sendiri mempertimbangkan dampak ekonomi, dampak moneter, dan sebagainya,” jelas Fitria.Adapun hadirnya rupiah digital nantinya, kata Fitria tidak akan serta-merta memusnahkan penggunaan uang kartal, baik uang kertas dan uang koin yang saat ini masih digunakan dalam proses transaksi.“Jumlahnya menemani uang beredar karena yang mengeluarkan adalah BI sebagai bank sentral, tentunya dia akan dihitung dengan baik,” jelas Fitria.“Sudah diperhitungkan semua dampaknya, sehingga risiko dapat dimitigasi secara optimal,” kata Fitria lagi.Artinya, kata Fitria porsi penerbitan uang digital akan dihitung dengan kondisi kebutuhan uang beredar saat itu. Operasi moneter akan menghitung likuiditas. “Nah ketika digital rupiah hadir, itu (uang kartal) akan berdampingan,” tuturnya.

Keterlibatan Industri dalam Penerbitan CBDCFitria bilang, penerbitan rupiah digital ini nantinya, tak akan membuat BI sebagai otoritas moneter menutup diri akan kompetisi dan inovasi dari industri.“Jadi, inovasi di industri silahkan berkembang, kompetisi silahkan berkembang. Walaupun kita hadir, kita juga hadir berkompetisi dengan praktik pasar yang sehat, dan kita operate public infrastructure (mengoperasikan infrastruktur publik),” jelas Fitria.Kendati demikian, BI sebagai bank sentral juga tak serta merta lepas tangan membiarkan industri mengembangkan rupiah digital. Intervensi dan tata kelola tetap harus di bawah tanggung jawab BI.“Jadi, tugas bank sentral sebagai otoritas sistem pembayaran, dia akan melakukan beberapa intervensi. Jadi belum tentu diserahkan begitu saja dengan industri, apabila kita menginginkan efisiensi sistem pembayaran yang lebih baik,” jelas Fitria.“Sekarang sudah tidak heran kalau bank sentral mereposisi perannya untuk mengambil beberapa infra yang ada, termasuk CBDC,” kata Fitria lagi.Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan mulai menyusun konsep distribusi uang digital. Saat ini ada dua konsep yang digunakan dalam central bank digital currency (CBDC), yaitu satu tier dan dua tier.Dalam sistem satu tier, bank sentral bisa langsung mentransfer mata uang digital ke ritel, dalam hal ini individu dan korporasi. Namun tentunya, sistem ini mengharuskan bank sentral melaksanakan semua fungsi yang saat ini dilakukan oleh bank dan entitas finansial lain, terutama know-your-customer dan layanan pembayaran.Sistem dua tier membatasi bank sentral hanya mendistribusikan uang digital ke bank dan platform finansial lain. Dalam hal ini, bank mempertahankan fungsi mereka sebagai penyedia berbagai layanan terkait uang milik individu dan korporasi.“Ada dua opsi yakni bank sentral hanya berfokus pada wholesale, memilih pemain besar dalam sistem. Dan perusahaan tersebut diberi mandat untuk distribusi ke wholesale retail. Bank sentral lain memilih opsi wholesale dan retail,” jelas Perry dalam Konferensi Internasional Bulletin of Monetary Economics and Banking ke-16, Kamis (25/8/2022).“Di Indonesia kami memilih mendistribusikan rupiah digital ke wholesale,” kata Perry lagi.

Perry menjelaskan saat ini Bank Indonesia dengan memilih pemain-pemain dalam industri bank dan sistem pembayaran untuk menjadi distributor uang digital. Platform pendistribusiannya akan menggunakan blockchain.“Bank akan menggunakan dua akun, yakni digital dan standar. Bank yang hanya bisa menggunakan distribusi buku besarnya,” ungkap Perry.Nantinya uang digital tersebut bisa digunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Termasuk menggunakannya di beberapa kasus penggunaan, seperti dalam metaverse.Jadi saat ini Bank Indonesia juga sedang membangun platform, selain memilih pihak yang menjadi distributor uang tersebut. Termasuk membuat dokumen konsultatif untuk konsep rupiah digital.“Bank Indonesia sedang dalam proses akhir konseptual desain, keamanan rupiah digital, memilih wholesaler, juga proses mengeluarkan buku putih atau dokumen konsultatif dari rupiah digital,” jelasnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan