SAYA tidak akan pernah bosan meresonansikan kabar baik di forum ini. Salah satu tujuannya untuk ikut memasalkan adagium good news is a good news too. Bukan melulu narasi kuno bad news is a good news. Selain itu, kabar baik bakal memupuk optimisme. Menumbuhkan harapan.
 
Maka, saat kabar baik datang bertubi-tubi, saya juga penuh antusias menggemakannya bertubi-tubi pula. Seperti yang datang tengah pekan ini. Sang pemberi kabar baik kali ini ialah Kristalina Georgieva, Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF).
 
Ia mengatakan bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang berhasil tumbuh tinggi di tengah suramnya ekonomi global. Bahkan, Georgieva memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal menyalip ekonomi dua raksasa dunia: Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.


Bukan Bangsa Kaleng-kaleng – Medcom.id

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Dalam laporan IMF terbaru itu disebutkan ekonomi Indonesia akan melesat 5,3% pada 2022. Meskipun lebih rendah daripada perkiraan awal, namun prediksi iti masih lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi pada 2021 yang mencapai 3,7%.
Sementara itu, tahun ini, Amerika Serikat diprediksi hanya mampu merealisasikan pertumbuhan 2,3% atau lebih rendah daripada capaian pada 2021 yang sebesar 5,7%. Pun pula dengan Tiongkok, yang pertumbuhan ekonominya tahun ini diprediksi oleh IMF jatuh dari sebelumnya 8,1% menjadi hanya 3,3%.
 
Ada beberapa alasan, kata Georgieva, yang bakal menjauhkan Indonesia dari resesi. Antara lain, penanganan covid-19 yang tepat dan kemampuan dalam mencegah penurunan ekonomi yang terlalu dalam. “Saat covid-19, Indonesia berhasil mencegah penurunan output ekonomi yang signifikan, tidak sedalam di banyak tempat,” kata Georgieva.
 
Meski menghadapi ‘kejutan’, yakni efek serangan Rusia ke Ukraina, Indonesia tetap mencatat pertumbuhan positif dan diyakini akan terus meningkat. Sebagian besar analis dan lembaga ekonomi meyakini pertumbuhan ekonomi kita akan di atas 5%, dengan inflasi 4%, dan dengan anggaran yang sangat baik yang mampu memberikan dukungan, terutama kepada penduduk yang rentan.
 
Keyakinan Georgieva cukup tebal, khususnya terkait dengan angka inflasi yang di akhir tahun diprediksi ada di rentang 4% hingga 4,5%. Angka itu jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia yang sebagian besar ada di dua digit.
 
Pujian dan analisis positif IMF tersebut memang membanggakan. Itu artinya, jalur ekonomi di negeri ini bukan saja telah dikelola secara on the right track, melainkan juga dijalankan secara efektif. Kuncinya ada pada pengendalian dan penanganan pandemi covid-19. Urusan kapan menginjak rem, sedalam apa rem diinjak; kapan menekan gas, selaju apa gas digenjot, dijalankan dengan seksama dan dalam respons secepat-cepatnya.
 
Pada awalnya banyak yang meragukan pemerintah. Malah, tidak sedikit pula saat awal pandemi ramai-ramai menyarankan agar pemerintah menerapkan lock down total. Pemerintah menolak dengan argumentasi yang masuk akal, meski terus-menerus dicibir. Bagi pemerintah, skema PSBB yang bermatomorfosis menjadi PPKM merupakan langkah paling masuk akal.
 
Terbukti, cara itu sangat efektif. Refocusing dan realokasi anggaran dijalankan dengan cermat. Mendahulukan penanganan terhadap kelompok paling rentan dengan menginjeksi bantuan untuk menahan daya beli, bisa dibilang sangat sukses. Pelonggaran pajak, beragam insentif, juga restrukturisasi kredit, kiranya menjadi skema yang akhirnya mampu menahan laju kian amblesnya perekonomian.
 
Kita memang sempat tidak bisa mengelak dari resesi, saat ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut tumbuh negatif. Tapi, itu cuma sementara. Ketika skema yang diyakini mampu menjadi resep cepat itu diterapkan secara disiplin dan konsisten, Indonesia bisa melalui resesi itu dalam tempo sesingkat-singkatnya.
 
Tapi, kiranya capaian dan sanjungan IMF itu tak boleh membuat kita mabuk kepayang. Kita memang telah membuktikan bahwa bangsa ini bukan bangsa ‘kaleng-kaleng’, bukan negara ‘ecek-ecek’. Tapi, itu mestinya tidak membuat kita terus menepuk dada, tak henti-hentinya jemawa. Karena faktanya, masih jutaan rakyat yang hidupnya kembang-kempis.
 
Karena itu, sangat penting bagi kebijakan fiskal pemerintah untuk tetap fokus dalam memberikan bantuan dengan sasaran yang tepat. Pemerintah harus fokus kepada mereka yang sangat membutuhkan, bukan memberikan subsidi kepada semua orang, termasuk masyarakat kaya.
 
Mengapa? Karena jika kebijakan fiskal menghabiskan terlalu banyak untuk subsidi kepada yang bukan berhak, defisit akan menganga dan betpotensi meledakkan inflasi. Kebijakan Indonesia dalam melakukan burden sharing melalui kerja sama antara pemerintah dan Bank Indonesia yang telah berjalan mulus, mestinya perlu dilanjutkan.
 
Selama krisis akibat pandemi covid-19, Bank Indonesia memberikan beberapa dukungan moneter bekerja sama dengan pemerintah untuk melindungi ekonomi dari guncangan. Kerja sama serupa kiranya pantas dilanjutkan guna menghadapi guncangan ekonomi global, yang getarannya diprediksi akan terus terasa hingga akhir tahun.
 
Sekali lagi buktikan bahwa kita bukan bangsa kaleng-kaleng.
 

Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan