Data & Fakta Terkini Ekonomi Indonesia, Resesi atau Tidak?

kabinetrakyat.com – Perdebatan terkait dengan resesi 2023 masih ramai menghiasi ranah publik. Mulai dari petinggi negara hingga pakar ekonomi membagikan pandangannya.

Beberapa tak segan memberikan ramalannya. Tidak sedikit pula, pihak yang terintidimasi akibat narasi resesi yang dibagikan, umumnya, oleh pemerintah.

Salah satunya, mantan wakil presiden Jusuf Kalla. Pengusaha senior ini merasa narasi resesi pemerintah membuat ‘ngeri’ publik. Jusuf Kalla yang akrab dipanggil JK memberikan teguran kepada Sri Mulyani. Dia menelepon langsung mantan bos Bank Dunia (World Bank)

“Saya bilang pada Sri Mulyani jangan takut-takut orang tahun depan akan kiamat (krisis ekonomi). Saya telepon jangan begitu, jangan kasih takut semua orang,” tegasnya dalam peringatan HUT Ke-70 Kalla Group beberapa waktu lalu.

JK sendiri meyakini bahwa Indonesia cukup tangguh melewati krisis ini. Dia yakin krisis energi dan pangan tidak akan menghampiri NKRI. Pasalnya, dia melihat Indonesia berbeda dari negara lain. Indonesia dapat memenuhi kebutuhan energi dan pangan secara mandiri.

Terlepas dari omongan JK, bahwa Indonesia tangguh menghadapi krisis. CNBC Indonesia mencoba menelusuri kembali indikator ekonomi terkini. Hal ini untuk membuktikan apakah Indonesia benar-benar aman dari resesi.

1. Indeks Keyakinan Konsumsen

Konsumsi adalah tulang punggung ekonomi Indonesia. Hal ini tak bisa dielak, konsumsi masyarakat berkontribusi sebesar 50% lebih terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Kondisi tulang punggung ekonomi ini dapat tercermin dari daya beli masyarakat. Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) pada September 2022 tercatat sebesar 117,2, atau tetap berada pada level optimis, meski lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya sebesar 124,7.

Adapun, IKK pada Agustus 2022 berada di level 124,7.

Secara rata-rata, IKK selama periode kuartal III-2022 tercatat sebesar 121,7, sedikit lebih rendah dibandingkan 123,4 triwulan II-2022, namun lebih tinggi dari 112,4 pada kuartal III-2021.

IKK pada September 2022 tersebut mengambarkan bahwa efek kenaikan harga BBM Pertalite dan Solar subsidi mulai menggoyang keyakinan konsumsi masyarakat.

Pada September 2022, keyakinan konsumen yang tidak setinggi bulan sebelumnya terpantau pada seluruh kategori pengeluaran, terutama pada responden dengan pengeluaran Rp4,1-5 juta.

Dari survei BI, IEK pada September 2022 tercatat sebesar 126,1, atau tetap berada pada level optimis, meski tidak setinggi bulan sebelumnya sebesar 137,7.

Sementara itu, konsumen masih memiliki optimisme atas kondisi ekonomi saat in, meskipun tidak sekuat pada bulan sebelumnya dimana Indeks Ekonomi Saat Ini (IKE) sebesar 108,3, sedikit lebih rendah dari 111,7 pada Agustus 2022.

2. Inflasi

Inflasi Indonesia pada Oktober 2022 mencapai 5,71% secara year on year (yoy). Kendati lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya yaitu 5,95%, tetapi inflasi tetap di luar kondisi normal selama ini.

“Inflasi di Oktober ini terlihat mulai melemah. Pada Oktober 2022 terjadi inflasi sebesar 5,71%,” kata Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa (Disjas) BPS, Setianto dalam konferensi pers, Selasa (1/11/2022).

Diketahui ada beberapa kali penyesuaian harga energi pada beberapa waktu terakhir. Antara lain kenaikan Pertamax, Pertalite dan Solar pada awal September 2022. Kemudian 1 Oktober 2022, harga Pertamax diturunkan.

“Kalau kita lihat penyumbang inflasi tertinggi, secara yoy bensin, tarif angkutan dalam kota, solar dan tarif antar kota dan rumah tangga penyumbang inflasi tertinggi secara year on year,” papar Setianto.

Realisasi ini erat dengan kondisi IKK Oktober yang segera diumumkan BI pekan depan. Sebagai catatan, di akhir tahun ini, second round effect atau efek putaran kedua dari kenaikan harga BBM akan mulai membayangi.

3. Purchasing Manager’s Index (PMI)

S&P Global melaporkan bahwa Purchasing Manager’s Index (PMI) Manufaktur atau indeks manufaktur Indonesia pada Oktober 2022 mengalami penurunan. PMI Indonesia tercatat berada di level 51,8 atau turun dibandingkan September 2022 yang sebesar 53,7.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menilai PMI Manufaktur Indonesia tetap terjaganya. Dia melihat PMI manufaktur pada zona ekspansif di tengah gejolak global.

Bahkan, dia melihat Indonesia relatif kuat, dibandingkan PMI manufaktur di beberapa negara lain yang tercatat kembali mengalami kontraksi, seperti Malaysia 48,7, Taiwan 41,5, dan Korea Selatan 48,2.

“Secara keseluruhan optimisme pelaku usaha terus meningkat. Tingkat permintaan dalam negeri yang masih kuat diharapkan dapat menjadi landasan bagi sektor manufaktur untuk terus konsisten berada pada zona ekspansif dan menguat di masa yang akan datang,” papar Febrio.

Namun, gelombang PHK patut diwaspadai, terutama di sektor padat karya. Pasalnya, angka pemutusan hubungan kerja (PHK) dan karyawan dirumahkan terus bertambah di industri padat karya khususnya garmen atau pakaian jadi hingga alas kaki dan mainan.

Pengusaha menunggu langkah konkret pemerintah dalam menyelamatkan industri yang sudah krisis ini karena dampak lesunya order. Menurut penelusuran CNBC Indonesia, hingga kini sudah ada lebih dari 40 Ribu pekerja yang terkena PHK di sektor ini. Jumlahnya bisa bertambah signifikan jika dalam satu hingga dua bulan ke depan pemerintah belum banyak berbuat.

“Perkiraan saya kalau pemerintah tidak melakukan apa-apa, diam saja, industri padat karya sampai Desember akan tembus sampai 100.000 orang (PHK),” kata Juru Bicara Perkumpulan Pengusaha Produk Tekstil Jawa Barat (PPPTJB) Sariat Arifia kepada CNBC Indonesia, dikutip Rabu (2/11/22).

Berdasarkan data Apindo per 29 September lalu, sudah ada 43.567 pegawai yang terkena PHK dari 87 perusahaan. Wilayah yang menyumbang paling banyak adalah Kabupaten Bogor dengan 14.720 pekerja dari 18 perusahaan, disusul Sukabumi dengan jumlah PHK 12.188 orang dari 26 perusahaan.

Kabupaten Subang juga menyumbang 9.626 PHK dari 12 perusahaan. Kemudian Kabupaten Purwakarta sebanyak 3.883 orang dari 29 perusahaan, Kabupaten Bandung sebanyak 3.000 orang dan Kota Bogor 100 orang.

Direktur Eksekutif Segara Institut Piter Abdullah sebelumnya menegaskan bahwa banyaknya PHK akan menjadi salah satu dampak terbesar jika resesi.

“Dari pengalaman 2020 itu paling terdampak kalangan menengah ke bawah. Ketika perekonomian terkontraksi maka akan banyak perusahaan tertutup sehingga banyak PHK,” tutur Piter.

Namun di Indonesia, resesi belum datang, PHK mulai menerjang.

4. Ekspor

Neraca perdagangan Indonesia telah mengalami surplus selama 29 bulan beruntun, sejak Mei 2020.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan pada September 2022 mencatat surplus, yakni US$ 4,99 miliar dolar AS, meski lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar US$ 5,71 miliar.

Adapun, ekspor Indonesia pada September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar, tumbuh 20,28% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy).

Dibandingkan bulan sebelumnya, ekspor alami penurunan sebesar 10,99%. Hal ini dikarenakan ada penurunan harga komoditas andalan ekspor utama Indonesia. Sebagai catatan, nilai ekspor Agustus 2022 mencapai US$ 27,91 miliar atau melonjak 30,15% (year on year/yoy).

Penurunan ekspor diperkirakan akan berlanjut hingga tahun depan sejalan dengan kondisi global.

Namun, Ekonom Senior Chatib Basri melihat dampak guncangan global terhadap ekspor Indonesia, lanjutnya, tidak akan besar. Pasalnya, kontribusi ekspor Indonesia terhadap pertumbuhan ekonomi hanya menyumbang 25%, kecil dibandingkan dengan Singapura yang memiliki share ekspor terhadap pertumbuhan ekonominya mencapai 200%.

Alhasil, ekonomi Indonesia hanya akan mengalami perlambatan.

“Ini gara-gara share ekspor ke GDP cuma 25%, ya efeknya 25%. Itu yang menyebabkan dampaknya slow down, tapi tidak resesi. Makanya somehow, kita butuh domestic demand kalau ekonomi global kena,” ungkapnya Chatib.

Ramalan PDB Q3

Dari indikator tersebut, pemerintah tampaknya masih optimistis, bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh tinggi pada kuartal III-2022.

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meyakini pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal III-2022 akan tumbuh sekira 5,7%, di tengah ekonomi dunia yang saat ini sedang bergejolak.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu menjelaskan, setelah ekonomi Indonesia tumbuh negatif diterpa pandemi Covid-19, kini pemulihan ekonomi Indonesia masih sangat kuat.

Dari perhitungan BKF, pertumbuhan ekonomi Kuartal III-2022 akan lebih tinggi dibandingkan Kuartal II-2022 yang tumbuh mencapai 5,44% (year on year/yoy). Angka pertumbuhan ekonomi Kuartal III-2022 ini akan diumumkan pada 7 November 2022 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

“Kuartal III ini kita melihat peluangnya sebenarnya masih lebih kuat lagi dari Kuartal II-2022. Jadi, angka terakhir dari kami itu 5,7% (yoy). Nanti kita lihat ini akan tercermin dari apa yang diumumkan BPS,” jelas Febrio beberapa waktu lalu.

Lantas, bagaimana dengan nasib ekonomi Indonesia tahun depan?

Febrio mengungkapkan bahwa di 2023 perekonomian Indonesia akan dihadapkan pada ketidakpastian global yang semakin ‘gelap’. Oleh karena itu, APBN 2023 dinilai optimistis dan harus waspada.

Di sisi lain, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menuturkan ekonomi Indonesia masih akan tumbuh sebesar 4-5% pada tahun depan.

“Kita punya optimisme, ekonomi kita masih akan terus tubuh, di tengah negara maju bayak yang sudah mengatakan kita siap masuk resesi. Di regional mungkin indonesia termasuk sedikit negara yg tumbuh pada kisaran 4-5%,” paparnya dalam acara GNPIP, Senin (31/10/2022).

Jika mengacu pada ramalan IMF, Indonesia sendiri masih berpeluang tumbuh 5,3% tahun ini dan sedikit melambat menjadi 5% pada tahun depan. Pertumbuhan ini jauh di atas China dan AS.

China diperkirakan mengalami tumbuh 3,2% pada 2022 dan sedikit meningkat sebesar 4,4% pada 2023. Sementara itu, AS akan tumbuh 1,6% pada 2022 dan kemudian turun menjadi 1% pada 2023.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan