Heboh ‘Kiamat’ Muncul di Amerika-Australia, Ini Yang Terjadi

kabinetrakyat.com – Pandemi Covid-19 rupanya saat ini masih berdampak di berbagai negara. Saat ini sejumlah negara di dunia melaporkan adanya krisis tenaga kerja, setidaknya beberapa negara telah menunjukkan fakta-fakta tersebut.

Di Amerika Serikat (AS) misalnya, yang melaporkan tengah kekurangan pekerja terburuk dalam sejarah. Meski banyak perusahaan menawarkan bonus serta gaji lebih tinggi agar lowongan pekerja terisi, hal ini tetap gagal menarik pekerja.

Menurut Fox News, kasus ini terjadi pada sejumlah bisnis. Antara lain restoran, toko, hingga penerbangan mulai dari petugas bagas ke pilot dan pramugari.

Sementara mengutip laman Kamar Dagang AS, sektor perawatan kesehatan dan bantuan sosial serta akomodasi juga menghadapi hal serupa. Di mana lowongan pekerjaan tinggi, tapi pelamar minim.

Hantaman kurangnya pekerja lebih keras ke usaha kecil dan menengah. Kekurangan pekerja di tengah inflasi yang melonjak di atas membuat bisnis terancam tutup.

Menurut Small Business Index AS, sebanyak 60% usaha kecil telah menerapkan perubahan selama setahun terakhir untuk meningkatkan retensi karyawan dengan salah satu taktik paling populer meningkatkan upah. Namun ini membebani ketika semua biaya naik.

“Saya tidak bisa mempekerjakan siapa pun,” tegas pemilik usaha kecil di AS, bernama Frances Reed dan Jessica VonDyke, dikutip CNN International, Sabtu (11/9/2022).

“Kami belum pernah memiliki begitu banyak peluang potensial untuk tumbuh, melayani pelanggan, dan menjual barang dan jasa. Namun pada saat yang sama dibatasi dalam kemampuan kami untuk tampil karena kami tidak dapat menemukan pekerja,” ujar pengusaha lain, Mike Zaffaroni, di CNN Business.

Data dari bank sentral, Federal Reserve St. Louis, juga menunjukkan demikian. Selama 2022, lembaga ini telah melihat jumlah lowongan pekerjaan tertinggi dalam catatan.

Namun, tingkat partisipasi angkatan kerja tetap satu poin persentase penuh di bawah tingkat pra-Covid-19. Melansir The Conversation, kesenjangan antara permintaan tenaga kerja dan pasokannya sudah terbentuk pada 2017, dan semakin menjadi kala pandemi Covid-19 dimulai. Itu menyebabkan tren “Great Resignation” di AS.

“Pada tahun 2021, lebih dari 47 juta pekerja berhenti dari pekerjaan mereka, banyak di antaranya mencari keseimbangan dan fleksibilitas kehidupan kerja yang lebih baik, peningkatan kompensasi, dan budaya perusahaan yang kuat,” kata Direktur Kebijakan Pekerja Global dan Inisiatif Khusus Kamar Dagang AS, Stephanie Ferguson.

Selama pandemi, tegasnya, pekerjaan yang membutuhkan kehadiran langsung dan secara tradisional memiliki upah lebih rendah, akan kesulitan untuk mempertahankan pekerja. Misalnya, industri rekreasi dan perhotelan serta ritel.

“Tingkat berhenti rekreasi dan perhotelan tertinggi sejak Juli 2021, secara konsisten di atas 5,4%. Tingkat berhenti untuk industri perdagangan ritel tidak jauh di belakang, dengan tingkat melayang mendekati 4%,” ujarnya.

Bukan hanya itu, bentuk pekerjaan jarak jauh (WFH) juga menjadi soal lain di AS. Data menemukan bahwa 91% pekerja AS berharap mereka dapat terus bekerja beberapa jam dari rumah. “Tiga dari 10 pekerja memberi isyarat bahwa mereka akan mencari pekerjaan baru jika mereka dipanggil kembali ke kantor,” tambahnya.

Hal yang sama juga terjadi di Negeri Kanguru. Adapun kelangkaan tenaga kerja terjadi di Australia akibat penutupan perbatasan lebih dari dua tahun selama pandemi Covid-19.

Australia bahkan melakukan berbagai cara agar mendapatkan para pekerja kembali. Beberapa waktu lalu pemerintah Australia meningkatkan jumlah migrasi permanen menjadi 195.000 dari tahun keuangan ini. Jumlah ini meningkat 35.000 orang.

Pengusaha berharap mereka akan membantu mengisi kesenjangan dalam angkatan kerja. Tetapi dengan hampir setengah juta lowongan di seluruh negeri dan tingkat pengangguran 3,4%, level terendah hampir 50 tahun.

Masalahnya tidak hanya terkait dengan penutupan perbatasan Covid-19, para ahli mengatakan sistem visa sudah sulit dilalui para pekerja migran. Bahkan sebelum pandemi.

Diketahui bahwa ratusan ribu orang menunggu aplikasi visa mereka diproses. Ini menciptakan disinsentif bagi pelamar baru yang sangat terampil, yang mungkin mendapatkan penawaran di tempat lain.

“Saya pikir masalah terbesar saat ini sebenarnya adalah membuat orang masuk ke negara itu terlepas dari batasannya,” kata Direktur Deloitte Access Economics, Blair Chapman, dikutip Reuters.

“Kami benar-benar bersaing dalam skala global sekarang dengan kekurangan yang dilaporkan di seluruh dunia dan perlu ada pemikiran serius yang diberikan tentang bagaimana kami benar-benar menarik orang ke Australia,” tambahnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan