DISKUSI bersama teman di kedai kopi menjadi serius. Kami mendiskusikan penaikan tarif untuk berkunjung wisatawan ke Candi Borobudur dan Pulau Komodo. Teman itu bertanya mengapa binatang komodo yang dipajang di Pulau Komodo itu tampak gemuk, sementara masih banyak anak yang stunting di Labuan Bajo?
 
Borobudur dan Komodo sudah ditetapkan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) sebagai warisan budaya dunia dan warisan alam dunia. Keduanya juga masuk dalam destinasi pariwisata superprioritas pemerintah.
 
Semula pemerintah menetapkan tarif naik ke Candi Borobudur Rp750.000 bagi wisatawan domestik dan US$100 untuk wisatawan mancanegara. Kuota pengunjung dibatasi 1.200 orang per hari.


Komodo Gemuk Rakyat Stunting – Medcom.id

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Ketetapan penaikan tarif itu dibatalkan Presiden Joko Widodo. Dengan demikian, tarif masuk Candi Borobudur masih seperti yang berlaku saat ini, yakni Rp50 ribu bagi wisatawan lokal dan US$25 untuk turis mancanegara. Adapun tarif bagi pelajar SMA ke bawah Rp5.000.
Mestinya, kata teman saya, rencana penaikan tarif masuk Pulau Komodo juga dibatalkan. Pemerintah berencana membatasi jumlah wisatawan sekitar 200.000 orang per tahun.
 
Taman Nasional Komodo akan segera menerapkan pembatasan jumlah pengunjung ini dengan sistem manajemen kunjungan yang terintegrasi berbasis reservasi online. Sistem itu akan mulai diberlakukan per 1 Agustus 2022.
 
Kompensasi biaya konservasi sebesar Rp3.750.000 per orang per tahun juga akan diberlakukan secara kolektif tersistem, sebesar Rp15.000.000 per 4 orang per tahun. Pembatasan pengunjung dan penarikan biaya kompensasi ini merupakan bagian dari program penguatan fungsi Taman Nasional Komodo.
 
Apa pun argumentasinya, apakah sama seperti Borobudur bahwa penaikan tarif sudah melalui kajian para ahli, ujung-ujungnya berhadapan dengan aspirasi masyarakat. Pada titik inilah Presiden Jokowi dipastikan akan memperhatikan aspirasi rakyat.
 
Kalau kajian ahli saja yang diutamakan tanpa memperhatikan aspirasi rakyat, kenapa negara ini tidak sekalian diserahkan kepada para ahli untuk dikelola? Tujuan berbangsa dan bernegara ialah menyejahterakan rakyat, yang hakikatnya merupakan pemegang kedaulatan di negeri ini.
 
Pengelolaan pariwisata, kata teman itu, harus dikembalikan fungsinya untuk kesejahteraan rakyat. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mengatakan bahwa kepariwisataan berfungsi memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan intelektual setiap wisatawan dengan rekreasi dan perjalanan serta meningkatkan pendapatan negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
 
Pariwisata yang tidak menyejahterakan rakyat bisa dibaca dalam lampiran Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2021 tentang RPJM Manggarai Barat 2021-2026. Sampailah pada kesimpulan bahwa pembangunan pariwisata di Labuan Bajo tidak menyejahterakan penduduk setempat. Para pendatang bisa saja diungtungkan.
 
Kasus stunting masih menjadi persoalan serius di Manggarai Barat (Mabar). Disebut serius karena angka stunting-nya di atas 30%. Ironisnya lagi, jumlah kasus stunting terbanyak terjadi di Kecamatan Komodo. Di kecamatan itulah letaknya pembangunan pariwisata superprioritas.
 
Laporan Kunjungan Spesifik Komisi IX DPR RI ke Kabupaten Manggarai Barat pada 2020 menyebutkan bahwa data Riskesdas 2013 menunjukkan angka prevalensi stunting di Mabar sebesar 49,3, jauh di atas rata-rata nasional. Saat ini, total anak stunting di Mabar berjumlah 3.356 anak, yang menyebar di 12 kecamatan.
 
Begitu juga masalah kemiskinan. Data BPS Mabar menyebutkan penduduk miskin berkembang fluktuatif dari 2017 hingga 2020, walaupun secara persentase terus menurun. BPS mencatat ada sebanyak 49.400 jiwa (17,71% dari total penduduk) pada 2020 masuk kategori penduduk miskin.
 
Walapun lebih baik daripada angka provinsi, persentase penduduk miskin di Mabar masih tergolong tinggi jika dibandingkan dengan nasional. Kabupaten Manggarai Barat berada di posisi ke-8 dari 22 kabupaten/kota di Provinsi NTT dan ke-435 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia.
 
Begitu juga dengan IPM Mabar, naik sebesar 2,24 poin pada 2017 hingga 2020. Meskipun demikian, Mabar masih memiliki angka IPM di bawah rata-rata provinsi dan nasional. Kabupaten Manggarai Barat berada di urutan ke-12 dari 22 kabupaten/kota di Provinsi NTT dan urutan ke-469 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia.
 
Kontribusi pariwisata terhadap pertumbuhan ekonomi masih rendah. Hal itu tecermin dari kontribusi subsektor penyedia akomodasi dan makan minum hanya 0,7% di 2018 atau sebesar Rp24,6 miliar dan 0,8% di 2019 atau sebesar Rp27,7 miliar. Selain itu, pada tahun yang sama, sektor pariwisata hanya mampu menyerap 4,7% dari angkatan kerja di Manggarai Barat.
 
Kata teman itu, kalau pembangunan pariwisata Labuan Bajo hanya fokus pada komodo, rakyat setempat tetaplah miskin. Jangan heran bila komodo gemuk, malah rakyat stunting. Sudah saatnya pariwisata Labuan Bajo dikelola sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten.

 


Artikel ini bersumber dari www.medcom.id.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan