kabinetrakyat.com – Disorotnya Bea Cukai Kementerian Keuangan (Kemenkeu) saat ini, membuat eksistensinya pada masa lalu kembali disorot. Apalagi, institusi tersebut menjadi bulan-bulanan masyarakat.

Mulai dari kekayaan pejabat hingga gaya hidup glamor keluarganya, ASN Bea Cukai kini disorot publik. Belum lagi adanya pelanggaran registrasi IMEI yang dilakukan puluhan pegawainya.

Padahal, Bea Cukai adalah instansi di bawah Kemenkeu yang menerima berbagai tunjangan tinggi, bersama dengan Ditjen Pajak. Bahkan, saking tingginya tunjangan mereka, Bea Cukai dan Pajak kerap dijuluki ‘Kementerian Sultan’.

Bukan tanpa alasan, remunerisasi tunjangan tinggi itu diharapkan membuat para ASN di sana tidak mudah tergoda dengan iming-iming suap maupun praktik pencurian uang rakyat lainnya, seperti pungutan liar (pungli).

Akan tetapi, Bea Cukai ternyata juga sempat bermasalah pada masa pemerintahaan Presiden Soeharto . Bahkan di zaman Orde Baru , instansi tersebut sempat dibekukan.

Pada masa pemerintahaan Soeharto , Bea Cukai terkenal sebagai sarang pungli. Pada saat itu, terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di Bea dan Cukai.

Pada 6 Juni 1968, Menteri Keuangan dijabat oleh Ali Wardhana. Menurut jurnalis Mochtar Lubis, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea Cukai terjadi karena terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelundup.

“Dan kerja Bea Cukai hanya mengadakan ‘denda damai’ belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan. Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ ini, yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur,” tuturnya di harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969.

Menurut Mochtar Lubis, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest yang telah berakar lama antara Bea Cukai dan importir-penyelundup. Selain itu, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. Namun nyatanya, keadaan demikian bertahan cukup lama.

Ketika Ali Wardhana mengunjungi kantor Bea Cukai di Tanjung Priok pada Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. Dia juga mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.

“Padahal, dia baru memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan kenaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan,” kata Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.

Ali Wardhana akhirnya melakukan mutasi pejabat eselon II antarunit eselon I. Pada 1978, Direktur Cukai digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali. Namun, ternyata cara ini tak memperbaiki kinerja Bea Cukai , karena penyelewengan dan penyelundupan terus terjadi.

Dia kemudian diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada 1983. Sementara Menteri Keuangan dijabat Radius Prawiro.

Perubahan di Bea Cukai pun sangat diharapkan. Hingga pada 29 Agustus 1983, Radius Prawiro melantik seorang perwira tinggi Departemen Hankam, Bambang Soejarto sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai menggantikan Wahono yang terpilih sebagai gubernur Jawa Timur.

Dalam pidato pelantikan, Radius Prawiro menekankan bahwa para penyelundup “akan kita perangi sampai ke akar-akarnya”. Sayangnya, penyelewengan dan penyelundupan Bea Cukai masih belum lenyap.

Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang, mengenai aparat Bea Cukai yang ribet, berbelit-belit, dan pada akhirnya melakukan pungutan liar. Sehingga, usai berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.

Berpegang pada Instruksi Presiden tersebut, Bea Cukai pun dibekukan. Kemudian, diambil keputusan untuk mempercayakan sebagian wewenang Direktorat Jenderal Bea Cukai kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss bernama Societe Generale de Surveilance (SGS).

Kewenangan itu kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan.

Undang-undang Nomor 10 tahun 1995 juga memberikan kewenangan lebih besar kepada Direktorat Jenderal Bea Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diembannya. Dengan pemberlakuan Undang-Undang tersebut, produk hukum kolonial tidak berlaku lagi.

Begitu pula dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007, untuk menggantikan kelima ordonansi cukai lama.

Sejak Reformasi, Kementerian Keuangan terus melakukan perbaikan, termasuk di sektor Bea dan Cukai. Perbaikan terus dilakukan dalam beberapa periode kepemimpinan.

Pada 2000, di bawah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo, dilakukan penataan organisasi Direktorat Jenderal Bea Cukai untuk mengoptimalkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan standardisasi teknis. Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai kemudian dibentuk.

Sementara itu, Pusat Pengolahan Data dan Informasi Bea dan Cukai (PPDIBC) dihapus. Kemudian dilakukan perubahan nomenklatur Direktorat Perencanaan Penerimaan menjadi Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai.

Untuk memperkuat fungsi pengawasan kepabeanan dan cukai serta mengoptimalkan pencegahan dan pemberantasan penyelundupan, UPT Pangkalan Sarana Perhubungan Bea Cukai diubah nomenklaturnya menjadi Pangkalan Sarana Operasi Bea dan Cukai (PSOBC). Dibentuk pula tenaga pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 2006 serta beberapa kali penataan instansi vertikal sejak 2009 hingga 2014.

Kemudian pada 2018, di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani, dilakukan penataan organisasi Pangkalan Sarana Operasi Bea Cukai . Dengan perbaikan-perbaikan tersebut, Direktorat Jenderal Bea Cukai memainkan peranan penting dalam melindungi masyarakat dan industri dalam negeri, serta mengoptimalkan penerimaan negara untuk pembangunan nasional.

“Selain itu, dilakukan transformasi Balai Pengujian dan Identifikasi Barang menjadi Balai Laboratorium Bea dan Cukai sebagaimana diatur dalam PMK Nomor-84/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Laboratorium Bea dan Cukai,” ujar Saeful Anwar dan Anugrah E.Y., dikutip Pikiran-Rakyat.com dari MK+ Media Keuangan Kemenkeu, Minggu, 26 Maret 2023.***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan