Ramalan Jokowi Nyata! Banyak Negara Kena Krisis Utang Akut

kabinetrakyat.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kali kesempatan pidatonya membicarakan ada 60 negara yang terancam dalam krisis utang, karena rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) melebihi 100% saat ini. Pernyataan Jokowi nyata dan krisis utang akut tersebut tengah terjadi di beberapa negara.

Ekonom Senior Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menjabarkan, dari data yang dihimpun dari laman Trading Economics, pada 2021 Venezuela merupakan negara yang memiliki rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) tertinggi di dunia, yakni mencapai 350%.

Selain Venezuela ada Jepang dengan rasio utang terhadap PDB-nya mencapai 266%, Greece 193%, Italia 151%, Amerika Serikat 137%, Bahrain 128%, Inggris 95,9%, Argentina 80,5%, Brazil 80,3%, India 74%, Afrika Selatan 69,9%, Jerman 69,3%, China 66,8%.

Di negara kawasan ASEAN, tercatat pada 2021 rasio utang terhadap PDB tertinggi ditempati oleh Singapura mencapai 131%, Malaysia 63,3%, Filipina 60,4%, Thailand 59,6%, Vietnam 46,7%, dan Indonesia terbilang aman dengan rasio utang 38,5% terhadap PDB.

Kendati demikian, kata Faisal, Indonesia tidak boleh jumawa, karena sebenarnya beban utang Indonesia besar. Dalam dokumen RAPBN 2023, diketahui nilai beban utang pemerintah meningkat dari tahun ke tahun.

Pada 2021 misalnya, beban utang pemerintah yang harus dibayarkan mencapai Rp 343,5 triliun, di tahun ini diperkirakan beban utang yang harus dibayarkan mencapai Rp 403,9 triliun dan pada 2023 diperkirakan mencapai Rp 441,4 triliun.

“Sedemikian besarnya bayar bunga utang, sehingga pemerintah bayar bunga utang harus pinjam, karena primary balance-nya minus,” jelas Faisal dalam sebuah webinar Taxation and Sustainable Finance Working Group yang diadakan oleh Civil 20, dikutip Sabtu (10/9/2022).

Primary balance adalah penerimaan pemerintah dikurang pengeluaran pemerintah, namun tidak termasuk pos pembayaran bunga utang. “Jadi sebelum bayar bunga sudah minus. Kalau bayar bunga, harus pinjem lagi terpaksa,” kata Faisal lagi.

Kendati demikian, Faisal mengapresiasi langkah pemerintah dalam mengelola utang saat ini, terutama dilihat dari kepemilikan asing di surat utang negara atau surat berharga negara (SBN).

Porsi utang pemerintah saat ini, 88,55% berasal dari penarikan utang SBN, dan hanya 11,5% yang berasal dari pinjaman. Dirinci lagi, saat ini sebanyak 98,1% utang pemerintah adalah pinjaman dalam negeri. “Jadi praktis yang namanya utang luar negeri hanya 10% dari total utang,” jelas Faisal.

Namun, Faisal memandang ketahanan utang di Indonesia dengan porsi lebih dominan dimiliki asing dalam bentuk SBN, dinilai rentan. Kalau Indonesia melakukan utang melalui pinjaman luar negeri bilateral, negara bisa mendapatkan bunga yang rendah.

“Kalau kita mau beban bunga turun, dibandingkan sangat berat saat ini, lebih bagus utang luar negeri. Ke Jepang bunga hanya 0,2%, masa pembayarannya 30 tahun, gross periodenya 10 tahun. Kalau ada masalah dengan ULN kita, bisa minta jadwal ulang dan lari ke Paris club, makanya OECD yang ngurusin utang luar negeri,” jelas Faisal.

“Kalau mau penjadwalan ulang bicara di Paris, nanti di rescheduling utangnya, kita hapus utang-utang sebagian. Itu gunanya ULN. Kalau utang dengan surat utang (SBN), kalau ada masalah bebannya berat. Gak ada forumnya, ya pasar kita anjlok,” kata Faisal lagi.

Untuk diketahui, merujuk data Kementerian Keuangan posisi utang pemerintah hingga Juli 2022 telah mencapai Rp 7.163,12 triliun atau setara 39,56% dari produk domestik bruto (PDB). Nilai utang pada Juli 2022 tersebut naik 0,55% dibandingkan bulan lalu yang nilainya mencapai Rp 7.123,62 triliun.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan