RI Lebih Untung dari Thailand & Singapura, Ini Penyebabnya!

kabinetrakyat.com – Beberapa negara di Asean, seperti Filipina, Vietnam dan Indonesia membukakan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa pada tahun ini, seiring dengan pemulihan dari pandemi Covid-19.

Filipina mencatat pertumbuhan ekonomi 7,4% pada kuartal II-2022, sementara Vietnam dan Indonesia masing-masing 7,7% dan 5,4% pada periode yang sama.

Namun, dua negara Asean lainnya, yakni Singapura dan Thailand dihadapkan oleh ancaman resesi yang semakin mendekat. Hal ini tidak terlepas dari ketidakpastian ekonomi global.

Mantan Menteri Keuangan dan ekonom senior M. Chatib Basri mengungkapkan bahwa negara-negara Asean memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap perekonomian global, sehingga paling rawan terkena resesi.

“Singapura sangat tergantung ke global. Thailand ke turis,” tutur Chatib, kepada CNBC Indonesia.

Proyeksi Chatib tersebut senada dengan perkiraan banyak ekonom dan analis jika Singapura menjadi negara ASEAN yang paling rawan terkena resesi.

Ekonom Maybank Chua Hak Bin mengungkapkan bahwa Singapura sangat bergantung kepada pergerakan ekonomi Amerika Serikat (AS). Melambatnya ekonomi AS membuat ekonomi Singapura bisa ikut macet.

AS adalah mitra dagang untuk barang terbesar ketiga untuk Singapura setelah China dan Malaysia. Namun, AS merupakan pasar terbesar Singapura untuk ekspor jasa.

Perekonomian Singapura juga sangat terbuka sehingga ketidakpastian global akan langsung berimbas ke negara tersebut. Peringkat Heritage Foundation’s 2021 Index of Economic Freedom menempatkan Singapura menempati urutan pertama sebagai negara dengan perekonomian paling terbuka di dunia.

“Saya perkirakan Singapura akan menjadi yang pertama (negara ASEAN yang terkena resesi),” tutur Chua, kepada CNBC International.

Chua menambahkan permintaan domestik hanya berkontribusi kecil terhadap perekonomian Singapura sehingga konsumsi domestik tidak mampu menopang perekonomian.

Berdasarkan data Bank Dunia, nilai perdagangan barang dan jasa Singapura setara dengan 185% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekspor barang Singapura mencapai SG$ 969,1 miliar pada 2020, turun dibandingkan SG$ 1,022 miliar pada 2019. Dari sisi produksi, sektor jasa memegang peranan sekitar 75% dalam perekonomian, termasuk jasa yang terkait ekspor.

Singapura sendiri memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada tahun ini akan mencapai 3-4%, seiring dengan tekanan global, termasuk efek inflasi yang melonjak dan agresifnya bank sentral dunia dalam menaikkan suku bunga acuan.

Sejak Agustus 2022, Kementerian Perdagangan dan Industri telah melihat adanya perlambatan permintaan global. Alhasil, proyeksi untuk sektor penopang ekonomi Singapura redup. Sektor-sektor bisnis yang redup tersebut a.l. transportasi air, jasa keuangan, dan industri kimia dasar.

Bernasib sama, Negara Gajah Putih rawan terkena resesi, terutama karena besarnya ketergantungan mereka terhadap sektor pariwisata.

Sektor pariwisata berkontribusi 11% terhadap PDB pada pra-pandemi. Setidaknya 40 juta turis mengunjungi Thailand dan mendatangkan penerimaan sebesar US$ 60 miliar.

Pandemi datang dan Thailand hanya kedatangan 6,7 juta wisatawan pada 2020 dan 428.000 wisatawan pada 2021. Rendahnya kunjungan membuat ekonomi mereka jeblok. PDB Thailand terkontraksi 6,2% (yoy) pada 2020. Ekonomi Thailand tumbuh 1,6% pada tahun lalu, terendah dibandingkan 10 negara Asia lainnya.

Salah satu penyumbang terbesar industri Thailand adalah turis dari China. Sebanyak 12 juta turis China mengunjungi Thailand pada 2019 atau sebelum pandemi tetapi jumlahnya menyusut hingga menjadi 13.043 wisatawan pada 2021.

“Wisatawan belum kembali mengunjungi kawasan Asia Tenggara, termasuk wisatawan China. Selama turis China belum kembali, maka perekonomian Thailand akan tetap sulit bangkit,” tutur Irvin Seah, ekonom senior DBS Group Research.

Perekonomian Thailand juga dikembangkan dengan berorientasi ekspor dan bersandar ke sektor jasa. Ekspor barang dan jasa berkontribusi 74% dari PDB. Ekspor Thailand ambles 20,41% pada 2020 menjadi US$ 257,70 miliar.

Adapun, gubernur bank sentral Thailand menegaskan bahwa pemulihan ekonomi negara Asia Tenggara akan tetap utuh di tengah volatilitas ekonomi global.

“Ekonomi Thailand diperkirakan tumbuh 3,3% pada 2022 dan 3,8% pada 2023, didorong oleh peningkatan konsumsi dan sektor pariwisata,” kata Gubernur Bank of Thailand (BOT) Sethaput Suthiwartnarueput dalam seminar bisnis, dilansir oleh Xinhua.

BOT memperkirakan jumlah kedatangan turis asing mencapai 9,5 juta tahun ini dan 21 juta tahun depan, lebih tinggi dibandingkan dengan 400.000 pada 2021 dan puncak kunjungan turis hampir 40 juta pada 2019 sebelum pandemi.

Thailand menyambut 4,38 juta wisatawan dalam delapan bulan pertama tahun ini, menurut data Kementerian Pariwisata dan Olahraga.

Sethaput mengatakan pertumbuhan inflasi utama akan mencapai 6,3 persen tahun ini, sebelum turun menjadi 2,6 persen pada 2023.

Bagaimana dengan nasib Indonesia?

Perekonomian Indonesia terbilang beruntung karena “diselamatkan” oleh sebuah kegagalan. Kecilnya kontribusi ekspor ke pertumbuhan ekonomi serta terbatasnya peran RI dalam perdagangan global membuat Zamrud Khatulistiwa mendapatkan efek terbatas dari gejolak eksternal.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor berkontribusi sebesar 23,2% kepada Produk Domestik Bruto (PBD) nasional pada kuartal II-2022. Secara keseluruhan, kontribusi ekspor kepada PDB nasional pada 2021 mencapai 21,56%. Kontribusi tersebut meningkat dibandingkan pada periode pra-pandemi 2017-2019 di mana share ekspor ke pertumbuhan hanya 19%.

Kendati meningkat pada tahun ini, kontribusi ekspor ke pertumbuhan tetap lebih kecil dibandingkan konsumsi rumah tangga atau investasi. Peran konsumsi rumah tangga kepada pembentukan PDB nasional rata-rata mencapai 56% sementara investasi ada di kisaran 27-30%.

Dengan peran ekspor yang terbatas ke pertumbuhan maka ekonomi Indonesia tidak akan terlalu terguncang dengan naik turunnya ekspor. Kondisi ini berbanding terbalik dengan konsumsi rumah tangga. Pada periode kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021, ekonomi Indonesia masuk ke jurang resesi karena konsumsi rumah tangga terkontraksi.

Chatib Basri pun menjelaskan peran ekspor yang rendah ke pertumbuhan tidak bisa dilepaskan dari kurang kompetitifnya produk ekspor barang dan jasa Indonesia.

Sebagai catatan, lebih dari 50% ekspor Indonesia masih dalam bentuk komoditas. Sekitar 30% ekspor Indonesia bahkan ditopang oleh dua komoditas penting yakni minyak sawit dan batu bara. Indonesia juga bukan Singapura yang menyediakan banyak jasa untuk aktivitas ekspor.

Berdasarkan data Bank Dunia, nilai ekspor barang dan jasa Indonesia setara dengan 21,6% dari PDB sementara Singapura menembus 185% dari PDB.

“Kita sebetulnya pengen kayak Singapura, ekspor kompetitif, tapi kita gak terlalu kompetitif, sekali ini kita beruntung karena gak kompetitif. Kalau kita kompetitif, itu dampak dari globalnya lebih dalam,” tutur Chatib, kepada CNBC Indonesia.

Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) tersebut menjelaskan Indonesia sudah beberapa kali “diselamatkan” oleh terbatasnya peran ekspor ke pertumbuhan.

“Pada 2008 kenapa (Indonesia) gak kena terlalu dalam waktu global financial crisis, pressure ekspor terhadap GDP-nya itu juga relatif kecil,” imbuhnya.

Sebagai catatan, krisis finansial pada 2008 menyeret perekonomian Amerika Serikat ke jurang resesi. Perekonomian global juga terimbas parah karena krisis keuangan menyebar ke jalur perdagangan.

Perdagangan global hanya tumbuh 2% pada 2008, turun jauh dibandingkan pada 2007 yang tumbuh 6%. Namun, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 6% atau turun tipis dibandingkan 2007 yang tercatat 6,3%.

“Kita pengen ekspor kompetitif, kita mau ekspor kita mendunia, gak dapet-dapet, coba bayangin kalau ekspor mendunia, begitu global kolaps, kena kita kayak Singapura,” tegas Chatib.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan