Table of contents: [Hide] [Show]

kabinetrakyat.com – gratifikasi bukan bidang saya. Jadi apa yang saya tulis ini sekadar curahan hati atau perasaan. Curhat bahasa anak muda.

Setelah saya menulis tentang suap di salah satu platform media daring, beberapa teman berkomentar. Di antara komentar itu adalah suap atau gratifikasi itu sudah biasa.

Lain lagi, sekarang begitu pula modelnya. Semua harus ada umpan. Ada juga yang berkomentar, kalau semua dianggap suap atau gratifikasi dunia jadi sempit. Orang susah untuk bersedekah.

Sekadar diketahui, terkait dengan suap dan gratifikasi, Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej atau Prof. Eddy ahli hukum asal UGM menjelaskan kira-kira begini.

Suap adalah pemberian terjadi setelah ada kesepakatan. Gratifikasi adalah pemberian tanpa kesepakatan. Baik gratifikasi maupun suap termasuk dalam tindak pidana korupsi atau kejahatan korupsi.

Saya lanjutkan. Tentang suap dan gratifikasi oleh pejabat pemerintah, seorang teman yang bekerja sebagai mandor juga pernah bercerita bahwa memberi uang sekadar ucapan terima kasih kepada pejabat sudah biasa terjadi. Setiap pemenang kontrak atau lelang proyek biasanya memberi.

Dulu sekali, 10 tahun lalu, saya juga pernah mendengar cerita seorang pemenang tender yang dimintai 10 persen di awal. Dan segala sesuatunya akan dipersulit bila permintaan tidak di penuhi.

Belum lama ini di media massa juga banyak berseliweran berita tentang setor menyetor pejabat, penegak hukum, politisi.

Saya membayangkan betapa rusak dan suramnya masa depan bangsa Indonesia. Sebab ada praktik suap dan gratifikasi di berbagai instansi negara, pendidikan, hukum, pemerintahan, kementerian hingga paling bawah pemerintah desa.

Dengan sedemikian, banyak cerita yang saya dengar, saya punya kesimpulan betapa bangsa ini sedang mengalami krisis integritas.

Sebagai anak muda yang terus menerus belajar, saya belum menemukan satu cerita bagaimana kejujuran dan berintegritas dipertahankan.

Alih-alih bertahan yang terjadi justru terjebak oleh lingkaran penuh manipulasi itu. Tak sedikit pula orang-orang jujur, meski tak paripurna, terancam karir dan nyawanya.

Keadaan itu sungguh benar-benar menakutkan bagi saya. Saya tidak bisa membayangkan nasib sendiri seandainya nanti bekerja di lembaga pendidikan atau pemerintahan, saya mungkin saja bisa terjebak dalam lingkaran itu tanpa tahu bagaimana cara keluar.

Atau mungkin sebelum terlambat, sebaiknya setelah menyelesaikan studi nanti, saya tidak ikut melamar pekerjaan di lembaga pemerintahan? Saya tiba-tiba gamang dengan masa depan saya sendiri.

Kejujuran Buya Haji Awiskarni Husin

Ketika kegamangan dan ketakutan yang membayangi, saya tiba-tiba ingat pada guru saya dan sangat merindukan beliau. Beliau adalah Buya Haji Awiskarni Husin (1945-2020).

Buya Awiskarni adalah pimpinan pesantren Tarbiyah Pasia, Bukittinggi, anak dari Syekh Husin Amin Pasia.

Suatu sore, Buya Awiskarni mengeluarkan permen dari sebuah toples di kantin sekolah dan menghitungnya satu-satu demi menghitung jumlah zakat yang harus dikeluarkan. Saya dekati lalu bertanya, kenapa harus dihitung?

Beliau jawab, “jangan sampai satu permen ini membuat saya terhalang bertemu dengan Allah SWT.”

Jawaban itu tentu sangat bernuansa keimanan. Tetapi di balik keimanan itu saya melihat ada praktik kejujuran dan integritas yang sungguh-sungguh.

Buya bisa saja memperkirakan atau melebihkan pembayaran zakat dari yang seharusnya dikeluarkan.

Tetapi bagi Buya Awiskarni selain soal keimanan, segala tindakan juga tentang pertanggungjawaban di hadapan Tuhan.

Ketika ada orang yang ngeyel dengan nasihat yang beliu sampaikan, Buya Awiskarni sering berucap, “lakukanlah, silakan pertanggungjawabkan nanti di hadapan Allah SWT”.

Maksud saya adalah ketidak jujuran seseorang sehingga terlibat dalam praktik suap atau gratifikasi bukan sekadar bagaimana melepaskan diri dari masalah hidup, atau yang penting tujuan tercapai dan urusan selesai atau bagaimana supaya seseorang diterima dalam lingkungan kerja.

Ketidak jujuran adalah persoalan pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Mahas Esa.

Semasa hidup mungkin banyak orang bisa bebas dari hukuman, tapi bisakah manusia bebas dari pantauan Tuhan Yang Maha Melihat? Bisakah manusia bebas dari pengadilan Tuhan Yang Maha Adil?

Semasa hidup orang mungkin bisa berkilah dan mencari alibi sebanyak rambut di kepalanya, tapi mampukah manusia berkilah di hadapan Tuhan?

Sebagai penutup tulisan ini, bangsa ini tidak akan pernah benar-benar berjalan untuk tujuan kemakmuran dan keadilan, selama masih dalam krisis integritas dan kejujuran.

Sebagaimana suap dan gratifikasi berasal dari hal kecil yang dibiasakan, maka demikian juga integritas dan kejujuran, harus dimulai dari hal-hal kecil dan dibiasakan.

Ada pepatah Minangkabau begini, kalau di masa kecil termanja-manja, sudah besar terbawa-bawa dan di masa tua terubah tidak.

Bila seseorang dibiarkan berbohong sejak kecil atau dalam perkara kecil, maka di masa dewasa atau dalam masalah besar orang tetap akan berbohong juga.

Selanjutnya, dalam masa tua atau dalam masalah yang jauh lebih besar, sangat sulit bagi seseorang untuk bersikap jujur.

Biasakan jujur dari sekarang. Stop gratifikasi dan suap meskipun itu satu rupiah. Kaidahnya yang harus ditanam dipikiran kita sejak sekarang adalah bila menerima sesuatu selain gaji adalah gratifikasi, maka satu rupiah pun juga gratifikasi.

Bila jumlah gratifikasi besar adalah tindakan korupsi, maka gratifikasi kecil pun juga korupsi.

Korupsi bukan tentang jumlah, tetapi mental. Bila orang punya mental korupsi jumlah besar atau kecil hanya persoalan kesempatan.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan