Awan ‘Resesi’ Makin Gelap, SBN Tenor Panjang Dijual Investor

kabinetrakyat.comJakarta, CNBC Indonesia – Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup menguat pada perdagangan Rabu (12/10/2022), di mana isu resesi global kian santer dan investor masih menantikan rilis data inflasi AS pada pekan ini.

Mayoritas investor memburu SBN pada hari ini, ditandai dengan turunnya imbal hasil (yield). Namun untuk SBN tenor 20 dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknya yield.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 20 tahun naik 2,2 basis poin (bp) ke posisi 7,356%. Sedangkan untuk yield SBN berjangkat waktu 30 tahun melonjak 11,5 bp menjadi 7,41%.

Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara berbalik melandai 4 bp menjadi 7,36%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Berbagai proyeksi ‘mengerikan’ dari ekonomi global ke depan sukses menjadi berita buruk tahun ini yang kemungkinan akan membawa ekonomi Amerika Serikat (AS), bahkan ekonomi global terjun ke jurang resesi tahun 2023 mendatang.

Perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung mereda dan justru akan memasuki babak baru menjadi pemicu meroketnya harga minyak mentah dunia, gas alam, hingga batu bara.

Alhasil, inflasi pada sektor energi menjadi penopang tingginya inflasi yang kemudian menyebar ke berbagai sektor ekonomi.

Peringatan ancaman resesi yang dikeluarkan beberapa lembaga seperti JPMorgan dan Nomura juga menjadi cerminan bagaimana ketidakpastian global masih akan membayang ke depan.

Sementara itu, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memangkas pertumbuhan global pada 2023 menjadi 2,7% dari proyeksi di Juli sebesar 2,9%.

Namun, IMF masih mempertahankan proyeksi pertumbuhan global untuk 2022 di angka 3,2%. Pertumbuhan global sudah direvisi sebanyak tiga kali yakni pada April, Juli, dan Oktober.

Pemangkasan proyeksi dilakukan menyusul masih panasnya perang Rusia-Ukraina, perlambatan ekonomi China, lonjakan harga energi dan pangan, melambungnya inflasi serta tren kenaikan suku bunga acuan global.

IMF juga mengingatkan jika sepertiga perekonomian dunia akan mengalami kontraksi pada tahun depan.

“Tiga kawasan dengan perekonomian terbesar yaitu AS, China, dan Eropa akan terus melambat. Yang terburuk belumlah terjadi sekarang ini karena banyak dari warga dunia yang akan merasakan resesi pada 2023,” tutur kepala ekonom IMF, Pierre-Olivier Gourinchas, dalam konferensi pers, Selasa malam waktu AS.

Dengan kekhawatiran ini kemudian yang memunculkan sentimen negatif bagi pasar keuangan global dan seharusnya menjadi sentimen yang mendukung bagi pasar obligasi pemerintah.

Namun di AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) terpantau cenderung bervariasi pada pagi hari ini.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun turun 2,3 bp menjadi 4,293%, dari sebelumnya pada Selasa kemarin di 4,316%.

Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun kembali naik 0,8 bp menjadi 3,947%, dari sebelumnya di posisi 3,939% pada perdagangan kemarin.

Pelaku pasar global menanti rilis data inflasi di AS, baik dari segi konsumen (consumer price index/CPI), maupun dari segi produsen (producer price index/PPI). Untuk data CPI AS akan dirilis pada Kamis besok, sedangkan data PPI akan dirilis malam hari ini.

Selain data inflasi, pelaku pasar global juga akan menanti rilis data indeks keyakinan konsumen (IKK) Negeri Paman Sam yang akan dirilis pada Jumat akhir pekan ini.

Semua data tersebut akan menjadi pegangan pasar untuk membaca arah kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan menggelar rapat pada 1-12 November mendatang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan