kabinetrakyat.com – Persoalan ekonomi yang menjadi perdebatan klasik sejak dulu kala adalah kemiskinan. Beragam teori tentang kemiskinan serta upaya mengatasinya menarik banyak perhatian para ilmuwan, praktisi, hingga pengambil kebijakan.

Diskusi tentang kemiskinan menjadi relevan pada hari ini, 17 Oktober 2022, karena merupakan hari pemberantasan kemiskinan sedunia. Banyak pendekatan bagaimana mengatasi kemiskinan di kalangan masyarakat.

Adagium paling terkenal untuk mengatasi kemiskinan adalah pendidikan. Akses pendidikan yang terjangkau dan berkualitas hingga jenjang kuliah menjadi jembatan masyarakat keluar dari kemiskinan.

Ungkapan itu terbukti karena umumnya lulusan perguruan tinggi kesejahteraannya lebih baik dari lulusan sekolah menengah.

Resep manjur lain untuk mengatasi kemiskinan adalah membuka akses masyarakat dari sejumlah isolasi. Dasar pemikiran itu yang membuat pembangunan ruas jalan di wilayah terpencil untuk membuka akses ke daerah lain dipercaya mampu mengatasi kemiskinan wilayah tersebut.

Tulisan ini membahas kemiskinan dari pendekatan berbeda yang telah diamati sejak puluhan tahun silam oleh ilmuwan ilmu tanah dan geografi.

Para ilmuwan tersebut telah mengamati hubungan kualitas lahan dengan kemiskinan. Bahkan, Prof Budi Mulyanto, Ketua Umum Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI), seringkali menyebut bahwa terdapat hubungan daerah yang tandus dengan daerah yang menjadi kantong-kantong pemberontakan di dunia.

Penduduk miskin di daerah tandus cenderung tidak puas dengan kebijakan pemerintah setempat sehingga memberontak.

Hubungan tersebut menjadi perdebatan panjang yang sulit mengerucut pada kesimpulan, sehingga seringkali dianggap intuitif belaka. Musababnya para ilmuwan kebumian tersebut belum melibatkan ahli ekonomi yang kompeten menilai hubungan tersebut.

Baru kemudian Martin Philipp Heger, peneliti dari Bank Dunia, Washington DC; Gregor Zens dari Department of Economics, Vienna University of Economics and Business, Vienna, Austria; dan Mook Bangalore dari London School ofEconomics, London, UK, menerbitkan artikel berjudul Land and poverty: the role of soil fertility and vegetation quality in poverty reduction.

Artikel tersebut terbit di jurnal Q1 bernama Environment and Development Economics pada 2020 yang diterbitkan Cambridge University Press.

Posisi Martin sebagai peneliti di Bank Dunia memudahkannya mengakses data panel global kemiskinan dan kualitas ekosistem lahan di dunia, termasuk pada area risetnya.

Martin tertarik meneliti land-poverty relationship atau hubungan lahan dan kemiskinan setelah sebelumnya membaca studi empiris Bank Dunia yang mengidentifikasi degradasi lahan dan penurunan kesuburan tanah ternyata berkaitan dengan kemiskinan.

Ia juga menemukan Gross Domestic Product (GDP) nasional per kapita di 36 negara Afrika Sub-Sahara berkorelasi positif dengan keseimbangan hara tanah di negara tersebut.

Ia juga melihat seperempat orang yang tinggal di negara-negara berpenghasilan rendah tinggal di lahan yang sangat terdegradasi.

Kualitas tanah

Sebagai ekonom Martin mampu mendeteksi hubungan kualitas tanah, ketahanan pangan dan pembangunan, terutama di negara-negara Afrika, yang diungkap oleh ilmuwan-ilmuwan tanah, pertanian, maupun geografi sebelumnya.

Hubungan yang lebih kuat dapat terlihat pada hasil panen dan potensi konflik yang kemudian mempengaruhi pendapatan dan kemiskinan sebuah wilayah.

Menurut Martin, salah satu aset terpenting yang menentukan produktivitas bagi masyarakat miskin perdesaan adalah kualitas tanah.

Kemampuan tanah memegang air, misalnya, menjadi penentu penting pertumbuhan tanaman. Ia juga menemukan wilayah dengan tanah dangkal, berbatu, atau memiliki persoalan kimia, seperti salinitas atau kemasaman yang tinggi lebih menderita karena hasil panen pertanian yang rendah.

Demikian pula kondisi topografi tanah yang curam serta tererosi, sulit dijangkau manusia, dan mesin umumnya memiliki hasil panen lebih buruk.

Martin mampu menangkap sejumlah literatur dari ilmuwan kebumian yang menyimpulkan lahan yang baik, cenderung memiliki potensi pertanian yang tinggi, sehingga berujung lebih unggul secara absolut karena menghasilkan pendapatan pertanian yang lebih tinggi.

Namun, di samping itu Martin juga mampu melihat beberapa wilayah yang bukan area pertanian tetapi masyarakatnya terlihat lebih sejahtera.

Mereka lebih sejahtera karena hidden harvestalias panen tersembunyi dari ekstraksi hutan alam dan lahan alami non-hutan lainnya.

Hampir sepertiga dari total pendapatan rumah tangga perdesaan berasal dari environmental incomeyang lebih dari tiga perempatnya berasal dari hutan alam. Masyarakat perdesaan dapat memanen biji-bijian, dedaunan, buah, madu, atau herbal hingga satwa dari hutan alam.

Masyarakat juga dapat memanen ikan dari wilayah yang lebih kaya air karena tersedianya perairan terbuka, seperti sungai, danau, bahkan pantai.

Bahkan riset lainnya mengungkap anak-anak yang lahir dan tumbuh di dekat perairan terbuka lebih tinggi, sehat, pintar dibanding anak-anak yang jauh dari perairan terbuka.

Martin akhirnya menemukan bahwa kualitas vegetasi dan kesuburan tanah merupakan pendorong penting untuk pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan dan Afrika Sub-Sahara.

Kesuburan tanah dan kualitas vegetasi tidak hanya berpengaruh signifikan untuk mengurangi kemiskinan tetapi juga terhadap peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita.

Ekosistem liar yang hijau dan kaya air juga berperan sebagai bantalan bagi masyarakat berpenghasilan rendah karena memberi pendapatan dari ekstrasi sumber daya alam dan lingkungan.

Hasil penting lainnya dari riset Martin adalah rekomendasi bahwa kemiskinan di Afrika dapat diatasi dengan menyediakan air. Kehadiran air mampu ‘menghidupkan’ tanah yang tandus sehingga produktif.

Ketika daerah tandus disediakan jaringan irigasi maka terjadi perbaikan kualitas lahan sehingga hasil panen bertambah dan bermuara pada meningkatnya pendapatan.

Pada konteks Indonesia, hasil riset Martin di Afrika tentu menyadarkan kita semua agar lahan pertanian yang masih subur di Indonesia dijaga. Demikian juga lahan yang terdegradasi agar dipulihkan.

Tentu yang tak kalah penting upaya pembangunan sumber air irigasi dan jaringannya harus terus dilakukan pemerintah. Dengan cara itu pendidikan, infrastruktur jalan, dan kualitas lahan yang baik dapat membantu bangsa ini mengurangi kemiskinan sebagian anak bangsa.

*) Dr. Destika Cahyana, SP, M.Sc; Peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan