Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan 20 Juli 2022 sebagai tenggat pendaftaran bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), seperti yang tercantum pada Permen Kominfo 5/2020, yang diubah melalui Permen Kominfo 10/2021. Tidak hanya bagi platform media sosial, peraturan itu juga berlaku bagi media arus utama berbasis internet. Kominfo bahkan bersiap memblokir situs atau platform media elektronik yang tidak mendaftar sebagai PSE.

Direktur Eksekutif LBH Pers, Ade Wahyudin, mengatakan peraturan menteri itu dinilai telah memberikan wewenang yang terlalu besar dan luas terhadap Kominfo, yang dikhawatirkan akan menjadi alat membungkam kebebasan berpendapat, berekspresi dan bersuara bagi masyarakat maupun pers.

“Kewenangan ini hanya dimiliki oleh Kominfo. Dari mulai pengaduan sampai eksekusi, itu Kominfo. Dia kemudian yang mengolah itu, tanpa ada proses yang transparan. Memang banyak sekali catatan di dalam Permen Kominfo ini, yang ujungnya adalah pengawasan yang berlebih, potensi sensor sangat besar sehingga ruang-ruang demokrasi digital itu semakin menyempit, atau bahkan semakin tidak ada,” komentarnya.

Permen Kominfo 5 Tahun 2020 Ancam Kebebasan Pers dan Keamanan Data Pribadi

Alia Yofira, Peneliti ELSAM (VOA/Screenshot)

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Alia Yofira, menilai regulasi itu memungkinkan dilakukanya pengawasan di platform digital oleh pemerintah. Namun, mengingat belum adanya undang-undang yang melindungi data pribadi masyarakat selaku subyek data, regulasi itu bisa disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu dan mengancam keselamatan diri pemilik data.

“Saat ini regulasi perlindungan data pribadi (PDP) itu sifatnya sektoral, tersebar di setidaknya 46 regulasi sektoral, dan tumpang tindih sehingga menciptakan ketidakpastian hukum bagi kita, sebagai subyek data. Minimnya regulasi dan mekanisme pengawasan PDP yang menyebabkan potensi penyalahgunaan wewenang yang sangat tinggi. Untuk saat ini kita belum punya RUU PDP yang sangat komprehensif,” jelasnya.

Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Ika Ningtyas, mengatakan bahwa AJI menolak peraturan Menkominfo itu, karena mengancam kebebasan pers yang dilindungi UU 40/1999. AJI bersama LBH Pers dan sejumlah lembaga, kata Ika, telah melayangkan gugatan yang mempersoalkan pasal 40 ayat 2 b UU ITE, namun hasil yang diperoleh tidak sesuai harapan.

“Menggugat payungnya (hukum) yang pasal 40 ayat 2b, karena di pasar 40 ayat 2b ini yang mengatur soal kewenangan Kominfo untuk melakukan pemblokiran, tapi hasilnya tidak sesuai ekspektasi,” kata Ika.

Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers (VOA/Screenshot)

Ade Wahyudin, Direktur Eksekutif LBH Pers (VOA/Screenshot)

Ade Wahyudin menambahkan, polemik dan kekhawatiran pemberlakuan sanksi bagi pelaku pelanggaran terhadap peraturan ini, hendaknya menjadi perhatian serius pemerintah yang menggaungkan kebebasan berpendapat dan berekspresi di era demokrasi saat ini. Terkait ancaman kebebasan pers dengan berlakunya aturan ini, Ade mendesak Dewan Pers turut bersuara untuk memastikan kebebasan pers tidak semakin terpasung dengan peraturan Kemenkom Info terkait PSE.

“Harapannya memang, karena ini juga menghambat kebebasan pers, mengkhawatirkan kebebasan pers kita. Dewan Pers harus juga intervensi terkait dengan bagaimana saat ini kebingungan teman-teman pers mendaftarkan atau tidak, dampaknya seperti apa, karena ketika sudah mendaftarkan artinya ya kita harus tunduk terhadap pasal-pasal terkait dengan pengawasan ini,” pungkasnya. [pr/ab]

Artikel ini bersumber dari www.voaindonesia.com.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan