kabinetrakyat.com – Nama Mei Kartawinata tidak bisa lepas dari pergerakan buruh di Indonesia. Hari lahir penyebar ajaran Kebatinan Perjalanan ini bertepatan dengan Hari Buruh yang diperingati setiap tanggal 1 Mei. Mei kartawinata lahir di Bandung tepatnya, di Jalan Kebonjati Desa Pasar Kota Bandung, pada tanggal 1 Mei 1897.

Dalam acara Pangeling-ngeling Kalahiran Mama Mei Kartawinata Anu ka-126 Tahun di Pasarean Mama Mei Kartawinata di Karang Pawitan, Pakutandang, Ciparay, Kabupaten Bandung pada 30 April 2023, Wakil Ketua Taruna Budi Daya, Indra Anggara mengatakan bahwa Mei Kartawinata punya perang penting dalam pergerakan buruh di Indonesia.

“Karena bekerja sebagai buruh pada saat itu, yang mana buruh diperlakukan tidak manusia. Atas dasar itu, Mei Kartawinata aktif di IDB. Dia hampir ditangkap oleh Belanda karena dianggap punya pergerakan nasionalis,” katanya.

“Dia banyak menyadarkan banyak orang tentang pentingnya hak-hak sebagai warga negara. Mei Kartawinata banyak menulis tentang feodalisme, nasionalisme, bahkan ada yang dalam bahasa Belanda. Dari segi pemahaman sudah mengerti tentang prinsip tentang negara. Dia juga banyak bertukar pikiran dengan Soekarno pada saat di Bandung,” tuturnya.

Dilansir dari situs Budi Daya, Ayah Mei Kartawinata bernama Rd. Kartowidjojo dari Rembang yang masih memiliki garis keturunan dari Brawijaya – Madjapahit, sedangkan Ibunda bernama Nyai Rd. Mariah dari Bogor, yang masih memiliki Garis keturunan dari Pangeran Sake/Bogor dan Pangeran Sugeri/Jatinegara (Siliwangi – Padjajaran).

Mei Kartawinata sempat bersekolah di Sekolah Kristen PADRI dimana di sekolah tersebut terdapat Zendingschool yang dipimpin oleh Ruitink, Borat dan Iken, selain bersekolah Mei juga mengikuti kursus di Kleine Ambtenaar Exament (KE).

Setelah tamat sekolah, pada 1914 dia bekerja di perusahaan percetakan (Drukkerij) di Bandung sambil sore harinya sekolah di Sekolah Partikelir. 1922, Mei Kartawinata memasuki dan aktif di organisasi perburuhan IDB (Indische Drukkerij Bond), sebuah organisasi yang aktif memperjuangkan nasib kesejahteraan kaum buruh dan seterusnya mengikuti gerakan-gerakan politik kebangsaan dan perjuangan kemerdekaan.

Selanjutnya Mei pindah ke Cirebon dan bekerja di percetakan De Boer, sambil tetap aktif di perjuangan buruh dan gerakan perjuangan kemerdekaan. Dia bertempat tinggal di lingkungan Keraton Kanoman dan tinggal di rumah Elang Otong.

Menginjak usia 25 tahun, tepatnya pada tahun 1922 itu juga, Mei Kartawinata menikahi seorang gadis asal Kampung Padamenak, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan – Jawa Barat, yang bernama Sukinah anak dari Perwatadisastra yang ketika itu bekerja di BAT (British American Tabacco) Cirebon.

Berhubung mertuanya tidak menyetujui putrinya bersuamikan orang yang aktif di pergerakan kebangsaan dan kemerdekaan, dan Belanda sudah mencium gerakan Mei Kartawinata, maka Mei Kartawinata terpaksa membawa istrinya dari Cirebon dan pindah ke Sukamandi mengikuti ibu kandungnya Nyai Rd. Mariah dan kakaknya seibu Rd. Kartaatmadja.

Mei bekerja di Pabrik Tapioka Sukamandi, bagian listrik dengan tujuan menghindarkan diri dari incaran Belanda, dan selama di Sukamandi, Mei Kartawinata bersama istrinya dan rekan-rekan seperjuangan aktif keluar-masuk kampung-kampung menyebarkan paham kebangsaan melalui anjang sono dan pertunjukan sandiwara.

Hingga pada 1925 Belanda mencium adanya gerakan nasionalisme kebangsaan di Sukamandi dan melakukan penangkapan-penangkapan, hingga Rd. Kartaatmadja yang mengaku sebagai Mei Kartawinata (untuk melindungi) ditangkap, disiksa dan dijebloskan ke Penjara di Purwakarta, kemudian dipindahkan ke Balikpapan-Kaltim, selanjutnya ke Nusakambangan.

Sejak itu kondisi keamanan bagi Mei Kartawinata jadi berbahaya, sehingga harus berpindah-pindah tempat, dan setelah ibundanya meninggal dan dimakamkan di Sukamandi, dengan bantuan seseorang bernama Ganda, Mei Kartawinata bersama istrinya pindah ke kota Subang dan bekerja sebagai letterzetter di perusahaan percetakan Atelir-Subang (P&T Land) milik kongsi Amerika-Inggris.

Setelah bekerja di Atelir, selanjutnya Mei mengajak teman lamanya M. Rasid dari Cirebon untuk bekerja bersama, hingga pada suatu waktu keduanya berkenalan dengan seseorang bernama Soemitra, yang kemudian ketiganya terjalin persahabatan.

Setelah peristiwa 17 September 1927 di sisi Sungai Cileuleuy itu, Mei Kartawinata semakin disadarkan tentang makna dan tugas dari seorang manusia. Hubungan Mei Kartawinata dengan 2 sahabat karibnya, Rasid dan Soemitra, justru semakin erat dan akhirnya diantara ketiganya berikrar untuk saling mengakui sebagai satu saudara.

Karena itu muncul istilah “tri tunggal”, dan sebagai bentuk penghormatan kepada ketiga tokoh ini, biasanya pengikut dari Mei Kartawinata memberi sebutan “Mama Karta, Mama Rasid, dan Mama Soemitra”.

Sejak peristiwa 17 September 1927 di Cileuleuy – Subang Jawa Barat, perjalanan spiritual Mei Kartawinata semakin mendapat pencerahan, bukan saja pencerahan tentang memaknai ilmu kebatinan saja, tetapi menumbuhkan dan akhirnya makin membangkitkan semangat jiwa nasionalis dan patroitisme pada diri Beliau.

Paham dan semangatnya itu, dia sebarkan di berbagai wilayah Pulau Jawa. Mei Kartawinata sangat menyadari pentingnya menumbuhkan semangat kebangsaan dan jiwa patriotisme di kalangan masyarakat, karena saat itu Negara kita masih dibawah cengkraman bangsa penjajah.

Mei Kartawinata sangat aktif dan lantang dalam menyuarakan kemerdekaan dan menentang aturan-aturan yang dibuat oleh bangsa penjajah yang terkenal kejam dan licik. Berbagai pergerakan beliau lakukan di berbagai wilayah pada masa-masa pengungsian dan masa gerilya. Dengan sepak terjang Mei Kartawinata seperti itu, membuat bangsa penjajah geram, hingga beliau masuk dalam daftar salah satu orang yang paling dicari.

Menurut beberapa catatan yang ada, Mei Kartawinata sempat merasakan hidup di bui, karena dianggap membahayakan dan merugikan kepentingan Bangsa Penjajah. Pada 1937 ditahan di Bandung, kemudian di 1942, saat penjajahan Jepang dipenjarakan selama 2 bulan di tahanan DAINYI Cigereleng (pinggiran Bandung selatan), lalu dipindahkan ke penjara Banceuy dan mendekam selama 2 bulan.

Beberapa waktu kemudian masih pada 1942 Mei Kartawinata ditangkap lagi dan dijebloskan ke Penjara Sukamiskin untuk menjalani vonis selama 2 tahun, namun baru mendekam 3 bulan sudah dibebaskan, karena didesak seluruh warga ajaran Mei Kartawinata dari Jawa Barat.

Pada 1946 ketika di Solo Mei Kartawinata diambil aparat keamanan dan dipenjarakan di Cirebon kemudian dipindah ke kota Yogyakarta. Setelah dibebaskan di Yogyakarta, Mei Kartawinata dipanggil presiden Soekarno dan meminta agar Mei Kartawinata meneruskan perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI, dan untuk memenuhi permintaan Bung Karno, selanjutnya Mei Kartawinata membentuk pasukan Gerilya MACAN PUTIH yang pergerakannya berpusat di Gunung Wilis, Tulungagung.

Pada 1950 ketika di Jakarta, Mei Kartawinata ditangkap di Matraman oleh Tentara Kala Hitam, karena dituduh terlibat Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dan mendekam selama 3 bulan di Penjara Glodok, Jakarta.

Pada masa-masa pergerakan itulah, menurut beberapa saksi hidup, Mei Kartawinata menjalin hubungan dengan Ir. Soekarno. Jalinan hubungan mereka berdua lebih kepada diskusi dan saling bertukar pikiran dalam rangka menentukan nasib Bangsa dan merumuskan ide serta konsep Dasar Negara, yang kemudian dikenal dengan PANCASILA.

Sekalipun rumusan pemikiran Mei Kartawinata tentang Pancasila tidak pernah muncul pada lembar sejarah bangsa, namun kenyataannya nilai-nilai dan Konsepsi tentang Pancasila jelas-jelas sudah Mei Kartawinata tuangkan dalam buku-buku karyanya, yang dia tulis dan cetak jauh sebelum 1945, sebelum Indonesia Merdeka.***

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan