Protes Perppu Cipta Kerja, Ini Alasan Pengusaha dan Buruh

kabinetrakyat.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru saja menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 2/2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022 lalu. Sontak, produk hukum baru ini menuai berbagai reaksi, baik dari pengusaha maupun pekerja.

Wakil Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Pengembangan SDM Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Nurdin Setiawan mengatakan, pemerintah memiliki agenda kepentingan lain lewat Perppu No 2/2022. Apalagi, ujarnya, Perppu ini tidak berbeda dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 18/2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

“Kalau dari kami di asosiasi melihatnya ini ada satu kepentingan lain yang kita pun tidak tahu. Karena perubahan di Perppu No 2/2022 ini kan sesungguhnya hanya bicara di pengupahan dan alihdaya,” kata Nurdin kepada CNBC Indonesia, Kamis (5/1/2023).

“Ketika dikeluarkannya Permenaker No 18/2022, kemudian APINDO dan 9 asosiasi sektor mengajukan permohonan yudisial review ke Mahkamah Agung (MA), di mana itu paling tidak ada lima hal yang dilanggar dalam penerbitan Permenaker No 18/2022 itu. Barangkali pemerintah juga lihat, kemungkinannya yudisial reviewnya ini akan dikabulkan nih. Jadi segera mengeluarkan aturan baru, yang nantinya Permenaker 18/2022 ini dikabulkan oleh MA maka udah ada Perppu yang baru,” tukasnya.

Dia pun menjabarkan sejumlah poin dalam Perppu No 2/2022 yang justru mengadopsi klausul dalam Permenaker No 18/2022 untuk penentuan upah minimum, yang mempertimbangkan tiga variabel, yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

“Nah itu kan tercantum di dalam Permenaker No 18/2022 dan sekarang dicantumkan di dalam Perppu No 2/2022. Dan yang paling tidak menjamin kepastian hukum di dalam ketenagakerjaan, muncul pasal baru yaitu 88F, di mana dalam kondisi tertentu pemerintah dapat menentukan formula UMP (Upah Minimum Provinsi),” ujar Nurdin.

“Jadi apapun yang kita rumuskan pemerintah punya kekuasaan absolut untuk bisa merubah kapan saja formula UMP. Jadi menurut hemat kami di asosiasi, bahwa Perppu ini tidak cukup beralasan, karena keadaan mendesak kemudian harus ada kebijakan ekonomi secara komprehensif atau secara global,” tuturnya.

Karena yang diubah hanya poin pengupahan, lanjut dia, yang mana seharusnya bukan dari klaster ketenagakerjaan saja yang diubah. Banyak klaster-klaster lain yang sifatnya holistik untuk bisa menentukan kebijakan pemerintah secara komprehensif.

“Tapi yang diubah di dalam Perppu kan hanya poin-poin pengupahan. Ditambah mungkin yang alih daya, kalau yang alih daya itu kan berdasarkan pesanannya serikat pekerja. Jadi kami asosiasi itu sama sekali tidak memahami terkait dengan pengeluaran Permenaker 18/2022 maupun Perppu No 2/2022,” ujarnya.

Sementara itu, Presiden Asosiasi Serikat Pekerja ( ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat juga menyampaikan keberatannya atas dikeluarkannya Perppu 2/2022.

“Ini tambah parah dan luar biasa. Saya lihat mereka nggak ada usaha untuk memperbaiki atau merevisi amanat dari putusan Mahkamah Konstitusi ini (terkait UU Cipta Kerja), malah dijawab oleh pemerintah melalui presiden dengan putusannya Perppu No 2/2022 yang dikeluarkan pada 30 Desember 2022 kemarin, dan malah udah masuk uji materiil,” kata Mirah kepada CNBC Indonesia.

“Isinya itu malah nggak ada banyak perubahan, jadi isinya sama saja. Nah untuk itu kami kecewa, kenapa sih Perppu No 2/2022 ini dikeluarkan dan diterbitkan, di satu sisi amanat MK kan nggak begitu. Jadi lucu lah alasannya, diada-adakan kalau menurut saya. Kemudian kami juga menduga, sudah menjadi hal yang lumrah kalau ini hanya akal-akalan saja pemerintah untuk kemudian ada pesanan dari pemodal,” tambah Mirah.

Mirah mengatakan, dengan adanya Perlu No 2/2022 juga kemungkinan akan berdampak kepada peningkatan gelombang PHK di tahun 2023. Menurut dia, pelaku usaha akan semakin kuat untuk melakukan pemutusan hubungan kerja dengan dalih efisiensi dan kerugian dengan adanya Perppu No 2/2022.

“Apalagi dengan adanya Perppu itu makin menguatkan mereka melakukan PHK, dengan alasan efisiensi dan rugi tetapi ujung-ujungnya mereka buka lowongan untuk kemudian mengganti status pekerja buruhnya itu menjadi kontrak atau harian atau juga dengan outsourcing,” pungkas Mirah.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan